Klarifikasi Pemkab Soal Dana TP-PKK 1,5 M: Jadi Bumerang yang Menelanjangi Kegagalan Total Sang Wakil Ketua II DPRD Bima Murni Suciyanti

BIMA, 3 Oktober 2025 || Kawah NTB – Klarifikasi Pemerintah Kabupaten Bima soal anggaran TP-PKK sebesar Rp 500 juta telah membuka kotak pandora yang sesungguhnya. Jika sebelumnya publik menyorot kelumpuhan institusional DPRD, kini lampu sorot yang paling terang dan paling panas harus diarahkan tepat ke satu nama: Murni Suciyanti, Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Bima.

Sangat mustahil dan tidak masuk akal jika seorang pimpinan dewan bersikap seolah-olah dia adalah korban atau penonton pasif dalam drama yang diciptakannya sendiri. Selama hampir dua bulan, sejak LBH-PRI melayangkan surat resmi pada 13 Agustus 2025, kegaduhan publik terkait rangkap jabatannya dan dugaan lonjakan anggaran Rp 1,5 Miliar menggema di seluruh penjuru Bima. Pertanyaannya sederhana, Di mana Anda, Ibu Wakil Ketua? Apakah Anda sengaja tuli atau memang lupa bahwa Anda adalah seorang wakil rakyat?

Sebagai seorang pimpinan DPRD, Murni Suciyanti memiliki posisi dan kewenangan untuk mendorong Badan Kehormatan (BK) agar segera memproses tuntutan publik. Sebagai figur yang namanya disebut langsung dalam laporan LBH-PRI, seharusnya dialah yang paling berkepentingan untuk tampil dan memberikan klarifikasi demi menjaga marwahnya dan marwah lembaga.

Namun, yang terjadi adalah kebalikannya. Ia memilih diam seribu bahasa. Sikap diam ini bukan lagi bisa ditafsirkan sebagai kehati-hatian, melainkan sebuah arogansi tingkat tinggi. Ini adalah pesan bahwa suara rakyat, yang diwakili oleh LBH-PRI, tidak cukup penting untuk didengar oleh seorang pimpinan dewan yang juga merangkap sebagai istri bupati.

Mari kita bedah kegagalan fatal Murni Suciyanti:

Gagal sebagai Pimpinan Legislatif: Alih-alih memastikan DPRD berfungsi sebagai lembaga yang transparan dan akuntabel, ia justru membiarkan institusi yang dipimpinnya lumpuh dan menjadi bahan cemoohan publik. Diamnya adalah restu atas ketidakbecusan Badan Kehormatan.

Gagal sebagai Wakil Rakyat: Tugas seorang dewan adalah menyerap dan merespons aspirasi. Ketika ada aspirasi yang sangat jelas dan formal meminta klarifikasi tentang dirinya, ia malah bersembunyi di balik kebisuan institusional. Ini adalah pengkhianatan terhadap sumpah jabatannya untuk mewakili kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi.

Gagal Menunjukkan Kenegarawanan: Seorang negarawan sejati akan menghadapi kritik dengan kepala tegak. Jika isu Rp 1,5 Miliar itu salah, seharusnya dialah orang pertama yang berteriak paling kencang untuk meluruskannya di forum resmi dewan, bukan menunggu hampir dua bulan hingga Pemkab yang turun tangan.

Klarifikasi dari Pemkab justru menjadi bumerang yang menghantam Murni Suciyanti lebih keras. Jika angkanya memang Rp 500 juta, mengapa ia membiarkan fitnah Rp 1,5 Miliar liar begitu lama? Mengapa ia tidak menggunakan panggung terhormat DPRD untuk membela kebenaran versinya?

Pada akhirnya, publik tidak lagi peduli apakah angkanya 500 juta atau 1,5 Miliar. Publik kini melihat dengan jelas bahwa mereka memiliki seorang pimpinan dewan yang memilih untuk tuli ketika namanya dipanggil, memilih untuk buta ketika institusinya dilecehkan, dan memilih untuk bisu ketika rakyatnya menuntut sebuah jawaban. Ini bukan lagi soal angka, ini soal karakter dan martabat seorang pemimpin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *