BIMA, 3 November 2025 || Kawah NTB – Kebisingan publik selama berbulan-bulan soal anggaran hibah TP-PKK Kabupaten Bima akhirnya menemukan kebenaran telaknya. Pengakuan mengejutkan datang bukan dari eksekutif, melainkan dari internal DPRD Bima sendiri.
Ketua Komisi I DPRD Bima, Supardin, dalam audiensi resmi pada 8 Oktober 2025 lalu, secara gamblang mengakui bahwa alokasi anggaran untuk lembaga yang diketuai oleh Wakil Ketua II DPRD Bima, Murni Suciyanti, itu memang benar awalnya diplot sebesar Rp 1,5 Miliar.
Pengakuan ini, yang disampaikan dalam audiensi dengan LBH-PRI pasca-demonstrasi terkait kasus lain, secara otomatis mementahkan klarifikasi Kabag Prokopim Pemkab Bima sebelumnya. Klarifikasi Pemkab yang bersikukuh angka tersebut ‘hanya’ Rp 500 juta kini terbukti sebagai upaya penyederhanaan fakta di hadapan publik.
Menurut Supardin, angka fantastis Rp 1,5 Miliar itu akhirnya diturunkan kembali menjadi Rp 500 juta pada saat pergeseran anggaran di bulan September. Perubahan drastis ini terjadi tepat setelah gelombang kritik dan sorotan tajam publik membombardir DPRD dan Pemkab Bima.
Fakta baru ini membuka borok yang jauh lebih busuk. Pertanyaan publik kini bergeser dengan nada sinis: Jika anggaran Rp 1,5 Miliar itu memang murni untuk kepentingan rakyat, mengapa DPRD dan Pemkab Bima begitu ketakutan hingga harus menurunkannya secara drastis setelah diprotes?
Pengakuan Supardin adalah bukti tak terbantahkan bahwa kenaikan anggaran tersebut sejak awal sarat akan masalah dan baru dibatalkan karena tekanan massa, bukan atas dasar kesadaran ataupun itikad baik.
Murni Suciyanti: Konflik Kepentingan dan Julukan Ratu Dana Hibah
Di pusat pusaran ini, berdiri kokoh sosok Murni Suciyanti. Posisinya yang problematik sebagai Wakil Ketua II DPRD Bima yang seharusnya mengawasi anggaran, sekaligus istri Bupati Bima (eksekutif), dan pada saat yang sama menjabat Ketua TP-PKK yang menerima kucuran dana hibah adalah inti dari konflik kepentingan ini.
Sikap diamnya selama berbulan-bulan, yang sebelumnya dianggap sebagai arogansi seorang pimpinan dewan, kini terlihat jelas sebagai upaya menyembunyikan fakta sesungguhnya dari rakyat. Ia gagal menggunakan panggung DPRD untuk jujur, dan membiarkan Pemkab mengeluarkan klarifikasi yang kini terbukti tidak utuh.
Akumulasi kekuasaan anggaran di satu tangan yang terafiliasi langsung dengan pusat kekuasaan eksekutif dan legislatif ini adalah preseden buruk yang menciderai rasa keadilan publik.
Pengakuan Komisi I ini sekaligus menelanjangi kegagalan total Badan Kehormatan (BK) DPRD Bima. Tuntutan RDPU oleh LBH-PRI sejak 13 Agustus lalu, yang sengaja diabaikan, kini terbukti memiliki dasar yang sangat kuat.
Klarifikasi Pemkab Bima soal angka Rp 500 juta kini tak lebih dari selembar kertas yang mencoba menutupi bangkai. Kebenaran telah keluar dari mulut DPRD sendiri: angka Rp 1,5 Miliar itu nyata, dan ia hanya surut karena perlawanan publik. Ini bukan lagi soal kelalaian administrasi, ini adalah soal integritas dan martabat seorang pimpinan dewan.




















