Bima, 22 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) Ntb – Ketika sebuah jalan utama rusak selama 20 tahun, kita tidak hanya sedang berbicara soal kegagalan teknik infrastruktur. Kita sedang menghadapi kegagalan negara dalam memenuhi kontrak sosial antara hukum formal dan kenyataan sosial, sebuah keretakan yang, menurut Bung Mhikel dari LBH Peduli Rakyat Indonesia (LBHPRI), dapat dianalisis secara tajam melalui pendekatan sosiologi hukum.
Sosiologi hukum, sebagai disiplin yang menelusuri bagaimana norma-norma hukum berinteraksi dengan struktur sosial, mengajarkan bahwa hukum tidak hidup di dalam buku, tapi di dalam masyarakat. Ketika jalan rusak Lambitu tidak tersentuh selama dua dekade, sementara anggaran dan retorika pembangunan terus berputar, maka hukum itu secara empiris tidak pernah benar-benar hadir di Lambitu.
“Jangan bilang negara punya aturan kalau aturannya tidak pernah sampai ke Sambori. Jangan bicara hukum kalau hukum hanya muncul dalam pidato, bukan dalam bentuk aspal yang bisa dilintasi,” sindir Bung Mhikel.
Banyak pembela pemerintah yang mengatakan bahwa Bupati Ady Mahyudi baru menjabat lima bulan. Tapi Bung Mhikel menyebut bahwa dalih ini adalah penghinaan terhadap akal sehat warga dan terhadap sosiologi hukum itu sendiri.
“Dalam perspektif sosial, begitu jabatan diucapkan, maka kontrak tanggung jawab langsung berlaku. Negara tidak bisa bilang ‘tunggu kami menyesuaikan’ ketika rakyat sudah menunggu 20 tahun.”
Hukum dalam praktiknya kata Bung Mhikel adalah respons terhadap penderitaan, bukan reaksi terhadap masa jabatan. Maka, tidak ada ruang dalam sosiologi hukum untuk ‘menunggu suasana jabatan nyaman dulu’ sebelum bekerja.
Menurut Bung Mhikel, jalan rusak Lambitu bukan sekadar masalah fasilitas publik. Ia adalah bukti nyata bahwa struktur hukum telah gagal mengafirmasi eksistensi warga Lambitu sebagai bagian sah dari republik.
Dalam konsep sosiologi hukum Émile Durkheim dan Max Weber, hukum yang tidak berakar pada nilai-nilai solidaritas dan tidak menjamin perlindungan terhadap kelompok rentan bukanlah hukum dalam arti substantif, tapi simulakrum kekuasaan.
“Apakah pemerintah sadar bahwa setiap lubang di jalan Lambitu adalah lubang di dalam kepercayaan publik?” tanya Bung Mhikel. “Jika hukum gagal menjamin hak atas mobilitas dan pelayanan dasar, maka hukum itu hanya hidup di papan balai kota, bukan di jalan rakyat.”
Sosiologi hukum juga bicara tentang eksistensi hukum sebagai alat rekognisi identitas. Dan jika selama 20 tahun Lambitu tidak pernah masuk sebagai prioritas pembangunan, maka ini adalah penghapusan politik secara sistematis melalui pembiaran administrasi.
“Jalan rusak bukan hanya membuat warga terhambat. Ia membuat mereka merasa tidak diakui. Dan ketika warga tidak merasa menjadi bagian dari republik, maka republik itu sedang menyusut ukurannya.”
Bung Mhikel menutup pernyataannya dengan satire yang menggigit:
“Kalau pemerintah bilang hukum itu hidup, buktikan dengan aspal.
Karena di Lambitu, hukum bukan Undang-Undang Dasar. Hukum adalah jalan yang bisa dilalui ambulans.
Dan jika itu saja tak bisa diberikan, maka pemimpin kita bukan sedang memimpin, tapi sedang bersembunyi di balik tanggal pelantikan.”




















