Bima, 23 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Gemuruh kritik tak henti menghantam Kejaksaan Negeri Raba Bima, terutama terkait penanganan kasus M alias O yang tak kunjung menjadi tersangka, disinyalir karena pengembalian kerugian negara. Kali ini, Herys Perantara, Aktivis Anti Korupsi Nusa Tenggara Barat, tak tinggal diam. Dengan nada garang dan satire yang membakar, ia menuntut Kejari Raba Bima untuk diaudit integritasnya, bukan malah mempertontonkan sandiwara hukum yang memuakkan.
“Apa yang dipertontonkan Kejari Raba Bima dalam kasus M alias O ini bukan lagi penegakan hukum, tapi seni berdalih tingkat tinggi!” seru Herys Perantara, suaranya menggelegar. “Mereka seolah ingin mengajarkan kita sebuah doktrin baru: korupsi itu boleh, asalkan Anda cukup bijak untuk mengembalikan uangnya nanti. Ini bukan hukum, ini ‘hukum obralan’! Lantas, jika demikian, mengapa kita masih repot-repot bicara tentang pemberantasan korupsi? Cukup sediakan rekening penampungan, biar para koruptor bisa mengembalikan duit hasil rampokannya, lalu kita beri mereka tepuk tangan meriah dan label warga negara yang baik!”
Herys tidak main-main dalam melontarkan sindiran. Ia menyebut bahwa Kejari Raba Bima, dengan dalih pengembalian kerugian negara, telah menciptakan preseden yang sangat berbahaya. “Ini sama saja dengan mengatakan bahwa seorang pencuri yang tertangkap basah, asalkan ia mau mengembalikan barang curiannya, maka ia akan dibiarkan melenggang bebas tanpa konsekuensi pidana. Bukankah itu berarti kita sedang melegitimasi tindakan pidana, asalkan ada kompensasinya? Apakah otak hukum kita sudah terbalik?”
“Dulu, hukum itu keras dan buta, tak pandang bulu. Sekarang? Hukum di Kejari Raba Bima ini sepertinya sudah mulai melihat, tapi hanya melihat nominal rupiah yang dikembalikan!” tegas Herys, nada sinisnya tak terbendung. “Lantas, bagaimana dengan para pelaku korupsi lain yang sudah jadi tersangka, yang sudah dihukum, tapi mungkin tidak punya kesempatan atau kemampuan untuk mengembalikan uangnya di awal? Apakah mereka korban dari diskriminasi hukum ala Kejari Raba Bima? Seharusnya mereka mengajukan praperadilan, menuntut keadilan, karena mereka telah diperlakukan tidak setara dengan M alias O yang seolah memiliki privilese khusus.”
Aktivis anti korupsi ini bahkan menuntut agar kinerja Kejari Raba Bima dievaluasi secara menyeluruh. “Ini bukan lagi soal satu kasus, tapi sudah menjadi pola yang merusak integritas institusi. Ketika Kejaksaan, sebagai salah satu pilar penegak hukum, justru mempertontonkan inkonsistensi dan standar ganda yang begitu mencolok, maka ini sudah saatnya Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) turun tangan. Bukan sekadar laporan, tapi audit integritas secara menyeluruh! Perlu dibongkar, jangan-jangan ada ‘hantu’ di balik tumpukan berkas perkara yang mempengaruhi jalannya keadilan.”
“Masyarakat Bima sudah muak dengan sandiwara hukum seperti ini,” pungkas Herys Perantara, suaranya mengandung kemarahan yang mendalam. “Kami tidak butuh aparat penegak hukum yang bisa menego hukum. Kami butuh aparat yang berani menegakkan hukum setegak-tegaknya, tanpa pandang bulu, tanpa melihat isi kantong atau koneksi. Jika kasus M alias O ini tetap menjadi contoh ‘korupsi yang bisa dibayar lunas’, maka kepercayaan publik terhadap Kejari Raba Bima akan runtuh total, dan mereka akan menjadi monumen bobroknya penegakan hukum di Nusa Tenggara Barat.”








































