Bima, 23 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Ketika Kejaksaan Negeri Raba Bima secara terang-terangan menerapkan standar ganda dalam penanganan kasus korupsi, utamanya terkait M alias O yang tak kunjung ditetapkan sebagai tersangka meski ada pengembalian kerugian negara, kita tak hanya menyaksikan anomali hukum. Kita sedang melihat praktik diskriminasi hukum yang telanjang, sebuah fenomena yang akan membuat Donald Black, bapak sosiologi hukum, menggelengkan kepala dalam keputusasaan.
“Kasus M alias O ini adalah studi kasus sempurna bagi teori diskriminasi hukum Donald Black,” tukas Bung Mhikel, Divisi Non Litigasi LBHPRI, dengan nada dingin yang sarat ironi. “Black mengajarkan kita bahwa hukum tidak diterapkan secara seragam; ia adalah variabel sosial yang bergerak sesuai dengan stratifikasi sosial. Artinya, hukum itu lebih sering menjadi alat bagi yang kuat dan menindas yang lemah, ketimbang menjadi pedang keadilan yang buta.”
Bung Mhikel melanjutkan, dalam pandangan Black, semakin tinggi posisi sosial seseorang, semakin rendah pula kemungkinan ia dihukum, atau setidaknya, semakin ‘lembut’ hukum berinteraksi dengannya. “M alias O, dengan segala latar belakang atau koneksinya, seolah-olah menjadi contoh nyata hipotesis Black. Ketika ia cukup dermawan mengembalikan 200 juta rupiah, tiba-tiba pasal-pasal pidana korupsi seolah menciut, tak berdaya. Sementara rekan-rekan seperjuangannya dalam tindak pidana yang sama, yang mungkin tak punya akses atau kemampuan negosiasi serupa, harus mendekam di balik jeruji.”
“Apakah ini yang disebut hukum progresif oleh Kejari Raba Bima? Hukum yang bisa bertoleransi dengan korupsi asalkan ada pelunasan?” sindir Bung Mhikel, dengan senyum kecut. “Donald Black pasti akan menertawakan logika ini sebagai anomali sosiologis, sebuah bentuk ‘hukum yang berpihak’, bukan ‘hukum yang berkeadilan’. Ini bukan lagi penegakan hukum, tapi ‘manajemen konflik’ ala birokrasi, di mana masalah pidana bisa diselesaikan dengan kalkulasi finansial dan politik, bukan dengan keadilan substantif.”
Menurut Bung Mhikel, teori Black menegaskan bahwa hukum akan lebih aktif dan keras terhadap mereka yang berada di bawah, dan cenderung pasif atau bahkan melindungi mereka yang berada di atas. “Jika demikian, maka Kejari Raba Bima sedang memberikan pelajaran gratis kepada publik tentang bagaimana struktur kekuasaan dapat memanipulasi proses hukum. Mereka sedang memperlihatkan bahwa ada warga negara kelas satu yang bisa membayar kebebasannya dari jerat korupsi, dan ada warga negara kelas dua yang harus pasrah menerima nasibnya tanpa pandang bulu. Inikah wajah republik yang bermartabat itu? Republik yang hukumnya bisa disulap menjadi komoditas?”
“Kasus M alias O ini bukan hanya tentang satu individu atau 200 juta rupiah. Ini adalah simpul busuk yang mengungkap pola diskriminasi sistemik dalam penegakan hukum kita,” tegas Bung Mhikel. “Ketika hukum tidak lagi menjadi instrumen untuk menjaga ketertiban dan keadilan, melainkan alat untuk melestarikan stratifikasi sosial dan melindungi yang kuat, maka ia telah kehilangan esensinya. Kejaksaan tidak hanya mempertaruhkan reputasinya, tetapi sedang menggali lubang kubur bagi kepercayaan publik terhadap keadilan di Bima.”
Dengan nada penuh tantangan, Bung Mhikel menutup pernyataannya: “Jika Kejari Raba Bima tetap bersikukuh dengan logika ‘hukum yang dinegosiasikan’ ini, maka mereka sedang mengundang perlawanan sipil. Masyarakat sudah muak dengan sandiwara hukum yang dimainkan para aparat. Kami tidak akan diam melihat hukum diperkosa atas nama kepentingan. Ingat, dalam teori Donald Black, semakin besar diskriminasi hukum, semakin besar pula potensi ketidakpatuhan dan perlawanan dari masyarakat yang tertindas. Kejari Raba Bima, pilihlah: mau menegakkan keadilan atau menjadi bagian dari diskriminasi yang membusuk?”








































