BIMA, 27 Agustus 2025 || Kawah NTB – Dua hari pasca-insiden barbarisme politik di ruang sidang paripurna, anggota DPRD Kabupaten Bima dari Fraksi PKB, Nurdin, masih bergeming di singgasananya. Namun, kebungkamannya tidak meredam amarah publik; sebaliknya, ia menyulut api krisis legitimasi yang kini mengancam tidak hanya dirinya, tetapi juga kehormatan institusi DPRD secara keseluruhan. Desakan agar ia meletakkan jabatan kini bukan lagi sekadar seruan moral, melainkan satu-satunya parameter untuk menguji apakah masih ada sisa martabat dan tanggung jawab dalam dirinya.
Tindakan Nurdin menghancurkan meja, sebuah aset negara yang dibiayai dari pajak rakyat, telah berevolusi dari sekadar amuk pribadi menjadi simbol cacat moral permanen seorang pejabat publik. Berbagai elemen masyarakat, mulai dari aktivis demokrasi, akademisi, hingga warga biasa, menyuarakan sentimen yang sama: Parlemen bukanlah arena untuk gladiator politik.
Ini bukan lagi soal permintaan maaf. Ini soal kelayakan fundamental.
“Seorang legislator yang menyelesaikan perbedaan pendapat dengan merusak fasilitas publik secara esensial telah mengakui kekalahan intelektualnya. Ia telah membuktikan dirinya tidak layak menyandang gelar ‘wakil rakyat’. Setiap detik ia bertahan di jabatannya adalah penghinaan terhadap ribuan suara yang telah memercayainya.”
Kritik tajam juga datang dari kalangan akademisi. Saifullah, seorang pengamat politik lokal, menyatakan bahwa keengganan Nurdin untuk mundur menciptakan preseden berbahaya. “Jika tindakan merusak aset negara di forum terhormat dianggap selesai hanya dengan sanksi internal atau permintaan maaf seremonial, maka kita sedang menormalisasi budaya premanisme di dalam lembaga politik. Nurdin kini berada di persimpangan: memilih jalan kesatria dengan mundur, atau selamanya dikenang sebagai contoh nyata arogansi kekuasaan yang merusak demokrasi dari dalam.”
Sikap diam dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai partai yang menaungi Nurdin juga menjadi sorotan. Publik menanti ketegasan partai untuk menjaga marwah politiknya, yang kini tersandera oleh perilaku salah satu kadernya. Tanpa tindakan tegas, partai berisiko dianggap merestui budaya kekerasan sebagai alat politik.
Saat ini, jabatan yang diemban Nurdin bukan lagi sebuah amanah, melainkan sebuah beban bagi demokrasi di Bima. Ia tidak lagi mewakili aspirasi rakyat, melainkan merepresentasikan kegagalan etika dan nalar. Bertahan di kursi dewan tidak akan menjadikannya terlihat kuat, justru akan menelanjanginya sebagai sosok yang lebih mencintai jabatan ketimbang kehormatan.
Publik Bima telah memberikan vonisnya di pengadilan opini publik. Pertanyaannya kini hanya untuk Nurdin: Apakah Anda akan mendengarkan suara rakyat yang Anda sumpahi untuk layani, atau Anda akan terus mencengkeram erat kursi kekuasaan sambil membiarkan nama Anda terukir dalam sejarah kelam Bima sebagai perusak, bukan sebagai negarawan?
Panggung ini menuntut pertanggungjawaban. Mundur adalah satu-satunya jalan terhormat yang tersisa.




















