BIMA, 19 Agustus 2025 || Kawah NTB – Lembaga Bantuan Hukum Peduli Rakyat Indonesia (LBH-PRI) melalui Tim Advokasi Non-Litigasi, Bung Muhlis Plano, mengecam keras kebijakan Pemerintah Kabupaten Bima yang mengalokasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) senilai Rp 1,5 miliar untuk merenovasi rumah pribadi bupati. Dalih bahwa rumah tersebut disewa sebagai rumah dinas karena ketiadaan aset Pemda adalah kamuflase hukum yang tidak dapat dibenarkan dan merupakan pengkhianatan nyata terhadap amanah publik.
“Ini bukan sekadar penyalahgunaan wewenang, ini adalah perampokan uang rakyat yang coba dilegalkan dengan argumen-argumen rapuh. Di saat rakyat Bima masih bergelut dengan jalan rusak, akses air bersih yang minim, dan fasilitas publik yang tidak memadai, seorang pemimpin justru menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya aset pribadinya. Ini adalah bentuk korupsi moral dan hukum yang paling telanjang,” tegas Bung Muhlis Plano.
LBH-PRI memandang kebijakan ini secara substansial telah melanggar serangkaian peraturan perundang-undangan fundamental yang berlapis. Berikut adalah analisis hukum lengkapnya:
1. Dalih Sewa yang Menyesatkan dan Melanggar Aturan Pokok
Dasar hukum utama mengenai fasilitas kepala daerah adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah. Pasal 7 PP ini secara jelas menyatakan bahwa kepala daerah disediakan rumah jabatan. Dalam skenario Pemda belum dapat menyediakannya, penjelasan Pasal 7 ayat (1) memberikan solusi berupa pemberian tunjangan perumahan, bukan menyewakan properti milik pribadi kepala daerah untuk kemudian direnovasi menggunakan APBD.
“Aturannya jelas, jika tidak ada rumah dinas, berikan tunjangan. Bupati bisa menggunakan tunjangan itu untuk menyewa rumah manapun. Praktik menyewakan rumah pribadi kepada pemerintahannya sendiri adalah langkah awal untuk membuka pintu konflik kepentingan secara brutal,” jelas Muhlis.
2. Pelanggaran Fatal Larangan Konflik Kepentingan
Tindakan Bupati Bima adalah contoh buku teks dari konflik kepentingan yang dilarang keras dalam tata kelola pemerintahan. Beberapa peraturan secara eksplisit dilanggar:
- Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN: Pasal 5 Angka 4 secara tegas melarang penyelenggara negara melakukan perbuatan yang menguntungkan diri sendiri dan merugikan negara. Mengalirkan dana APBD ke properti pribadi adalah inti dari pelanggaran ini.
- Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan: Pasal 42 dan 43 melarang pejabat publik membuat keputusan yang mengandung kepentingan pribadi. Bupati, dalam kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan, menyetujui anggaran yang mengalir ke dirinya sendiri sebagai pemilik aset. Ini adalah pertentangan kepentingan yang tidak terbantahkan.
- Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah: Penyewaan rumah adalah proses pengadaan jasa. Pasal 7 Perpres ini mengharamkan pertentangan kepentingan. Bupati sebagai Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah tidak boleh menjadi penyedia jasa bagi institusi yang ia pimpin.
3. Renovasi Rp 1,5 Miliar: Kejahatan Terhadap Keuangan Negara
Penggunaan APBD untuk merenovasi rumah pribadi bupati adalah pelanggaran yang lebih fatal. Prinsip pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD) yang diatur dalam PP No. 27 Tahun 2014 dan Permendagri No. 19 Tahun 2016 menegaskan bahwa belanja modal APBD hanya boleh digunakan untuk menambah atau meningkatkan nilai aset milik daerah.
“Mari kita perjelas: uang rakyat sebesar Rp 1,5 miliar itu kini telah berubah menjadi kemegahan properti pribadi Bupati. Nilai aset pribadinya meroket, sementara neraca aset Pemda Bima tidak bertambah satu rupiah pun. Ini adalah kerugian negara yang nyata dan akan menjadi temuan audit fatal oleh BPK. APBD secara hukum haram digunakan untuk memperkaya pejabat,” ujar Muhlis dengan tajam.
4. Potensi Pidana Korupsi yang Mengintai
LBH-PRI menegaskan bahwa kebijakan ini bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi berpotensi kuat sebagai tindak pidana korupsi berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya:
- Pasal 3: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara.
- Pasal 12 huruf i: Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang turut serta dalam pengadaan yang diurusnya, yang pada saat itu ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya, padahal ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung.
Seruan LBH-PRI
Atas dasar analisis hukum yang komprehensif ini, LBH-PRI menuntut:
- Pembatalan Segera: Kebijakan penggunaan APBD untuk renovasi rumah pribadi Bupati Bima harus segera dibatalkan dan dana yang telah terpakai harus dipertanggungjawabkan.
- Audit Investigatif BPK: Mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit investigatif menyeluruh terhadap alokasi anggaran ini untuk menghitung kerugian negara secara pasti.
- Penyelidikan Aparat Penegak Hukum: Mendesak Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera melakukan penyelidikan atas dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan penyalahgunaan wewenang dan konflik kepentingan dalam kasus ini.
“Kami ingatkan, diamnya masyarakat adalah restu bagi para tiran untuk terus menjarah. LBH-PRI akan terus mengawal kasus ini dan memastikan bahwa setiap rupiah uang rakyat digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan untuk kemewahan pribadi pejabat,” tutup Bung Muhlis Plano.




















