Bima, 8 Agustus 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Genderang perang hukum dalam kasus UU ITE yang menjerat warga Bima, Zunaidin, telah resmi ditabuh. Pasca Tim LBH-PRI menandatangani surat kuasa, pertarungan kini bergeser dari sekadar pembelaan substantif menjadi uji logika hukum prosedural terhadap Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda NTB. LBH-PRI tidak hanya berargumen bahwa kasus ini cacat materiil pasca-Putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024, tetapi juga menyoroti bahwa pemaksaan pemeriksaan di Mataram merupakan bentuk hukuman pra-peradilan yang mengabaikan prinsip keadilan fundamental.
Langkah LBH-PRI selanjutnya adalah mengirimkan surat resmi yang tidak hanya menuntut penghentian kasus (SP3), tetapi juga secara tajam mempertanyakan dasar pemilihan Mataram sebagai lokasi pemeriksaan. Ini membuka babak baru di mana prosedur hukum itu sendiri kini menjadi sorotan utama.
Analisis Hukum: Dilema Locus Delicti di Dunia Maya dan Kewajiban Mencari Keadilan Materil
Secara teoritis, dalam kasus siber yang diatur oleh UU ITE, penentuan locus delicti (tempat terjadinya tindak pidana) memang bersifat fleksibel. Mengingat sifat dunia maya yang tanpa batas (borderless), yurisprudensi dan doktrin hukum di Indonesia memperbolehkan pelaporan dilakukan di beberapa tempat, antara lain:
- Tempat Pelaku Mengunggah Konten: Di mana terlapor (Zunaidin) diduga membuat dan menyebarkan postingan.
- Tempat Akibat Dirasakan oleh Korban: Di mana pelapor (Ibu Mahdalena) mengakses, melihat, dan merasa dirugikan oleh konten tersebut.
- Tempat Alat yang Digunakan Berada: Lokasi server atau perangkat utama.
Berdasarkan fleksibilitas ini, langkah Polda NTB yang memproses laporan di Mataram, tempat pelapor mungkin merasakan dampaknya, secara formal tidak sepenuhnya salah. Namun, LBH-PRI berargumen bahwa penegakan hukum tidak boleh hanya menjadi robot prosedural, melainkan harus dijiwai oleh asas keadilan yang lebih tinggi.
Direktur LBH-PRI, Imam Muhajir, memberikan perspektif hukum yang lebih mendalam mengenai mengapa kasus ini wajib diperiksa di Bima.
“Benar bahwa hukum acara memberikan pilihan locus. Namun, pilihan itu bukanlah cek kosong yang bisa digunakan sewenang-wenang. Penyidik memiliki kewajiban untuk memilih locus yang paling mencerminkan asas peradilan yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan,” tegas Imam. “Inilah gagasan brilian dari hukum acara kita yang sering dilupakan.”
Imam memaparkan tiga alasan utama mengapa pemaksaan pemeriksaan di Mataram adalah sebuah kekeliruan fatal dalam konteks kasus ini:
Keadilan Aksesibilitas (Access to Justice): “Keadilan bukan hanya tentang putusan akhir, tetapi juga tentang proses yang bisa diakses. Zunaidin adalah warga biasa dari Bima. Memaksanya menyeberang pulau ke Mataram dengan biaya, waktu, dan energi yang besar adalah bentuk penghalang akses terhadap keadilan (obstruction of justice) secara sistemik. Bagaimana ia bisa memberikan keterangan dengan tenang dan mempersiapkan pembelaan secara maksimal jika ia sudah lebih dulu dihukum oleh prosedur? Ini mengubah statusnya dari ‘terlapor’ menjadi ‘terhukum secara prosedural’.”
Proporsionalitas dan Kelemahan Kasus Pokok: “Argumentasi kami yang paling krusial adalah ini: kekuatan sebuah kasus substantif harus menjadi pertimbangan utama dalam menentukan ‘kerasnya’ sebuah prosedur. Dalam kasus Zunaidin, dasar hukum laporannya, yaitu Pasal 27A UU ITE, sudah ‘diamputasi’ oleh Putusan MK. Kritik terhadap pejabat publik terkait jabatannya tidak lagi masuk delik. Ketika kasus pokoknya begitu rapuh dan berpotensi besar untuk di-SP3 atau divonis bebas, maka memaksakan prosedur yang paling memberatkan bagi terlapor adalah tindakan yang tidak proporsional dan tidak adil.”
Efisiensi Penyidikan dan Pembuktian: “Logika penyidikan yang efisien justru mengarah ke Bima. Saksi-saksi yang mungkin mengetahui konteks ujaran Zunaidin, latar belakang sosialnya, dan situasi lokal yang memicu kritik tersebut, kemungkinan besar berada di Bima. Memeriksa Zunaidin di Bima akan memudahkan penyidik untuk mendapatkan gambaran utuh, bukan sekadar potongan kalimat di dunia maya. Dengan kata lain, memeriksa di Bima justru akan memperkaya proses pembuktian, baik yang memberatkan maupun yang meringankan.”
Langkah Selanjutnya: Pertarungan Narasi Hukum
Guntur Sebagai Tenaga Ahli dari LBH-PRI mengonfirmasi bahwa surat resmi kepada Polda NTB sedang dalam finalisasi. Surat itu tidak hanya berisi argumen hukum terkait Putusan MK, tetapi juga analisis mendalam mengenai asas-asas peradilan yang dilanggar jika pemeriksaan tetap dipaksakan di Mataram.
“Kami tidak sedang memohon, kami sedang menguji komitmen Polda NTB terhadap konstitusi dan asas peradilan yang adil,” ujar Guntur.
Kasus Zunaidin kini berevolusi. Ini bukan lagi sekadar pertarungan antara seorang warga dan seorang pejabat, melainkan menjadi sebuah studi kasus penting tentang bagaimana aparat penegak hukum menafsirkan kewenangannya pasca-Putusan MK yang revolusioner. Keputusan Polda NTB untuk melanjutkan penyidikan dan memilih lokasi pemeriksaan akan menjadi preseden yang diawasi ketat oleh publik dan praktisi hukum di seluruh Indonesia.




















