Bima, 25 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – LBHPRI resmi mengajukan surat audiensi terbuka kepada Kejaksaan Negeri Raba Bima pada Kamis, 24 Juli 2025 bukan sebagai formalitas protokoler, melainkan sebagai gugatan publik yang berakar dari kemarahan kolektif atas dugaan kompromi hukum dalam kasus KUR BSI senilai Rp9,5 miliar.
Audiensi ini bukan ajakan diskusi ringan. Ia adalah desakan konstitusional agar institusi yang bertugas menegakkan hukum berhenti menjadi dinding pelindung koruptor donatur, dan mulai menjadi palu keadilan. LBHPRI membawa bukan hanya surat, tapi juga kecurigaan publik, bukti pengabaian, serta pertanyaan yang belum dijawab oleh Kejari: mengapa M alias O yang diduga menjadi pelaku utama, bisa leluasa berkeliaran hanya karena mengembalikan Rp200 juta?
“Surat ini tidak sekadar meminta penjelasan, tapi menuntut keberanian institusi untuk berhenti bersandiwara,” tegas Imam Muhajir, Direktur LBHPRI. Ia menambahkan bahwa jika audiensi ditolak, maka penolakan itu akan dicatat sebagai bentuk pengkhianatan hukum terhadap rakyat.
Bola panas kasus dugaan korupsi Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank Syariah Indonesia (BSI) di Bima terus bergulir. Setelah seruan keras dan tudingan “komprador koruptor” yang dilontarkan oleh Lembaga Bantuan Hukum Peduli Rakyat Indonesia (LBHPRI), kini publik menanti respons konkret dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Raba Bima. Pengajuan surat permohonan audiensi terbuka oleh LBHPRI menjadi titik krusial yang akan menentukan arah penanganan kasus ini ke depan.
Sebelumnya, Bung Mhikel, dari Divisi Non Litigasi LBHPRI, tak tanggung-tanggung menuding Kejari Raba Bima telah bersekongkol dengan terduga pelaku M alias O, yang disebut-sebut sebagai ‘donatur’ Rp200 juta. Kritik tajam ini muncul setelah M alias O, meski diduga kuat terlibat, dibiarkan bebas sementara tersangka lain meringkuk di sel. “Ini bukan lagi soal tafsir pasal yang lentur atau penerapan hukum yang tumpul ke atas. Ini adalah deklarasi terbuka bahwa Kejari Raba Bima telah menjadi bagian dari masalah,” tegas Bung Mhikel.
Pernyataan ini diperkuat oleh Direktur LBHPRI, Imam Muhajir, S.H., M.H., yang secara lugas menyatakan, “Kami tidak akan tinggal diam melihat adanya dugaan ketidakadilan dan diskriminasi hukum dalam penanganan kasus korupsi ini. Pengembalian kerugian negara seharusnya menjadi faktor yang meringankan di persidangan, bukan alasan untuk membebaskan seseorang dari jeratan hukum di tahap penyidikan.”
Pengajuan audiensi terbuka oleh LBHPRI pada Kamis (24/7/2025) menjadi sorotan utama. Audiensi ini bukan sekadar permintaan klarifikasi, melainkan sebuah desakan moral dan hukum agar Kejari Raba Bima transparan dan adil dalam menangani kasus ini.
Ada beberapa skenario yang mungkin terjadi setelah pengajuan audiensi ini:
1.Kejari Raba Bima menerima audiensi dan memberikan klarifikasi yang memuaskan: Ini adalah skenario ideal. Jika Kejari Raba Bima dapat menjelaskan alasan di balik perlakuan terhadap M alias O secara logis, transparan, dan sesuai prosedur hukum, maka kepercayaan publik bisa sedikit pulih. Klarifikasi ini harus didukung dengan bukti dan dasar hukum yang kuat, bukan sekadar retorika.
2.Kejari Raba Bima menerima audiensi namun klarifikasi tidak memuaskan: Jika penjelasan yang diberikan berputar-putar atau tidak berdasar, maka tekanan publik akan semakin besar. LBHPRI kemungkinan akan menempuh jalur hukum lain atau menggalang dukungan masyarakat yang lebih luas.
3.Kejari Raba Bima menolak audiensi atau mengabaikannya: Ini akan menjadi indikasi kuat adanya upaya untuk menutupi sesuatu. Penolakan ini akan memperkuat dugaan adanya persekongkolan dan akan memicu reaksi yang lebih keras dari LBHPRI dan masyarakat sipil. Aksi demonstrasi atau pelaporan ke lembaga pengawas yang lebih tinggi (seperti Komisi Kejaksaan atau bahkan KPK) bisa menjadi langkah selanjutnya.
Ancaman Preseden Buruk dan Pertaruhan Marwah Institusi
Jika Kejari Raba Bima tetap mempertahankan sikapnya terhadap M alias O, maka ada risiko besar terciptanya preseden hukum yang sangat berbahaya. Kasus ini bisa menjadi “pintu belakang” bagi para koruptor lain untuk “menebus dosa” dengan mengembalikan uang hasil korupsi, lalu lolos dari jeratan pidana. Ini akan merusak fondasi pemberantasan korupsi di Indonesia dan menimbulkan ketidakpercayaan yang parah terhadap sistem peradilan.
“Publik tidak bodoh. Kami, para mahasiswa hukum, aktivis, dan warga yang muak, melihat ini bukan sebagai kelalaian, melainkan sebagai kesengajaan,” pungkas Bung Mhikel. “Ini adalah permufakatan jahat yang dilegalkan oleh seragam dan stempel resmi.”
Tekanan kini ada di pundak Kejari Raba Bima. Akankah mereka mengambil langkah berani untuk membersihkan namanya dan menegakkan keadilan sejati, atau justru membiarkan dugaan persekongkolan ini semakin merusak marwah institusi kejaksaan di mata publik? Rakyat sedang mengawasi, dan kesabaran mereka ada batasnya.








































