banner 728x250

Lubang di Jalan Lambitu Lebih Dalam Dari Janji Bima Bermartabat Ady-Irfan

Bima, 13 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) Ntb – Di negeri yang katanya menjunjung “Bima Bermartabat,” realitas di Kecamatan Lambitu menampilkan wajah sebaliknya: jalan rusak parah, transportasi tersendat, nyawa dipertaruhkan, dan ekonomi lokal dibiarkan rontok. Janji politik pasangan Bupati dan Wakil Bupati Bima, Ady-Irfan, kini dinilai oleh pakar hukum tata negara sebagai retorika yang kehilangan konstitusinya.

Bung Arif, Pakar Hukum Tata Negara yang dikenal lantang, menyebut kondisi jalan lintas Lambitu sebagai bentuk sabotase terhadap hak konstitusional rakyat. Menurutnya, bukan hanya Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang dilanggar, tapi juga asas tanggung jawab negara dalam mengelola kemakmuran, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.“

Jalan bukan cuma penghubung desa, tapi penghubung rakyat ke masa depan. Ketika akses ekonomi, kesehatan, dan mobilitas diputus oleh lubang jalan, maka negara telah menutup pintu kemakmuran,” tegas Bung Arif kepada KAWAH NTB.

Lambitu bukan wilayah fiktif. Ia nyata, ia berdarah. Tahun 2024 mencatat tragedi dua bayi kembar yang meninggal dalam kandungan ibunya karena ambulans tak bisa melintas. Dan sampai saat ini, jalan tetap penuh bebatuan, licin saat hujan, dan penuh risiko saat malam tiba.

Lebih dari itu, Bung Arif menekankan bahwa kerusakan jalan juga mempengaruhi denyut ekonomi daerah. Ketika kendaraan tidak dapat melintas secara efisien, harga barang melambung, distribusi terganggu, dan pendapatan desa menurun. Maka kerugian bukan hanya lokal, tapi sistemik.

“Bayangkan! Satu jam jalan macet di Lambitu, maka ekonomi desa stagnan. Dan jika ekonomi desa terganggu, maka seluruh rantai distribusi kabupaten ikut lumpuh. Lambitu bukan pinggiran Lambitu adalah poros yang sedang dibekap oleh kelalaian pemimpin,” ujar Bung Arif.

Bung Arif menyebut Pemerintah Kabupaten Bima secara hukum telah melanggar mandat konstitusional sebagai fasilitator kemakmuran rakyat, karena akses jalan adalah instrumen dasar untuk mencapai kualitas hidup.

“Ketika bupati bicara martabat, rakyat Lambitu justru merangkak melewati jalan berbahaya. Apa artinya martabat kalau rakyat harus menunggu bantuan di tengah batu dan lumpur?”

Ia mengingatkan bahwa hukum bukan sekadar pasal dalam buku. Hukum adalah jaminan bahwa negara tidak akan diam saat warganya dirampas hak hidup dan mobilitasnya.

Lambitu bukan wilayah terpencil, tapi wajah jujur dari sebuah janji politik yang tak pernah sampai. Ketika negara membiarkan jalan rusak dan ekonomi lumpuh, maka bukan rakyat yang harus sabar tetapi pemimpin yang harus disadarkan. Karena jalan bukan proyek fisik semata, ia adalah garis batas antara cita-cita dan pengkhianatan.

Dan jika hukum lahir untuk melindungi rakyat, maka rakyat Lambitu tidak boleh diam karena suara mereka adalah satu-satunya jalur yang belum rusak.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *