BIMA, 11 Desember 2025 || Kawah NTB – Apa gunanya wakil rakyat jika rakyatnya sendiri justru dijadikan objek prank massal? Pertanyaan ini mencuat keras menampar wajah Mahdalena, Anggota DPR RI Fraksi PKB dari Dapil NTB I. Di balik senyum manis di baliho dan narasi peduli di media sosial, realitas di lapangan menunjukkan sebuah ironi yang memuakkan: kursi Senayan yang didudukinya seolah tak lebih dari alat untuk memperkaya kroni dan membangun dinasti, sementara warga miskin di Bima dibiarkan gigit jari.
Narasi tentang memperjuangkan rakyat kini terdengar seperti bualan kosong. Berdasarkan UU MD3 Nomor 17 Tahun 2014 Pasal 69, DPR memiliki tiga fungsi sakral: Legislasi, Anggaran, dan Pengawasan. Namun, apa yang dipertontonkan Mahdalena di Pulau Sumbawa bukan implementasi fungsi tersebut, melainkan sebuah parodi politik yang menyedihkan.
Alih-alih menjalankan fungsi budgeting (anggaran) untuk kesejahteraan konstituen, Mahdalena dituding memainkan skenario kotor dalam penyaluran Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (Bedah Rumah), Bantuan Modal Usaha, hingga Program Indonesia Pintar (PIP). Data di lapangan bicara lain, bantuan yang sejatinya hak mutlak kaum papa, justru mengalir deras ke kantong-kantong mereka yang mampu orang-orang yang memiliki kedekatan personal atau irisan politik dengan sang legislator.
Ini adalah bentuk kanibalisme politik. Mengambil hak orang miskin untuk menyuap loyalitas orang kaya. Ketika warga miskin di data namun tak pernah menerima realisasi, itu bukan sekadar kesalahan administrasi. Itu adalah manipulasi harapan.
Puncak dari kebobrokan moral politik ini terlihat saat banjir besar menghantam Wera dan Ambalawi pada 2025. Di saat rakyat meregang nyawa dan harta benda, bantuan 1.500 paket sembako yang turun memang berlabel Bantuan Negara. Namun, investigasi menunjukkan aroma busuk monopoli. Paket-paket tersebut diduga kuat dibelanjakan di toko milik pribadi Mahdalena sendiri.
Ini jelas menabrak etika publik. Uang negara, diputar untuk membeli barang dagangan sendiri, lalu dibagikan seolah-olah itu kedermawanan pribadi. Ini bukan pemberdayaan, ini penghinaan terhadap akal sehat. Bantuan negara di monopoli untuk memutar roda ekonomi keluarga sendiri, sementara rakyat diposisikan sebagai pengemis yang harus berhutang budi.
Di mana fungsi controlling atau pengawasan yang diamanatkan UU MD3? Nihil. Mahdalena gagal menjadi mata dan telinga rakyat untuk mengawasi eksekutif, karena dirinya sendiri sibuk bermain mata dengan anggaran aspirasi. Bagaimana mungkin seorang legislator bisa mengawasi penyimpangan negara jika ia sendiri menjadi aktor utama dalam dugaan penyimpangan distribusi bantuan?
Praktik tebang pilih dan diskriminasi bantuan ini adalah bukti nyata bahwa Mahdalena tidak sedang bekerja sebagai wakil negara, melainkan sebagai bos yang membagi jatah preman kepada pengikut setianya.
Gelombang kemarahan di Bima bukan sekadar riak kecil. Ini adalah sirine tanda bahaya. Jika model kepemimpinan transaksional dan manipulatif seperti ini dibiarkan, marwah DPR RI sebagai rumah aspirasi akan runtuh. Mahdalena tidak hanya berpotensi kehilangan kursi di masa depan, tapi ia sedang menulis sejarah kelam tentang bagaimana seorang wakil rakyat mengkhianati amanat konstitusi demi kepentingan perut sendiri.
Rakyat Bima dan Pulau Sumbawa kini sadar, mereka tidak butuh Sinterklas yang datang membawa bingkisan dari uang negara yang diputar di toko sendiri. Mereka butuh legislator yang paham UU, yang mengerti bahwa kemiskinan bukan komoditas politik untuk dipelihara demi suara lima tahunan.








































