banner 728x250

Manajer, Koordinator, Atau Penghalang? Membaca Fungsi Sekda Di Balik Surat Lambitu

Bima, 28 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Di tengah gelombang frustrasi publik akibat surat permohonan audiensi yang terendap selama tiga belas hari, penting untuk membedah persoalan ini secara jernih. Kemandekan ini bukan sekadar tentang selembar surat yang tak kunjung direspons; ini adalah tentang disfungsi peran sentral seorang Sekretaris Daerah (Sekda) dalam orkestrasi pemerintahan. Untuk memahami skala masalahnya, kita harus terlebih dahulu memahami apa sebenarnya tugas dan fungsi Sekda menurut peraturan perundang-undangan.

Sekda adalah jabatan karier tertinggi bagi seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di tingkat kabupaten/kota. Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan turunannya, Sekda memiliki tiga peran krusial yang relevan dengan kasus Lambitu:

  • Sebagai “Manajer Administrasi” Tertinggi: Sekda adalah motor penggerak mesin birokrasi. Salah satu tugas utamanya adalah mengelola administrasi umum, termasuk tata kelola persuratan. Setiap surat yang masuk, apalagi dari aliansi masyarakat yang menyangkut hajat hidup orang banyak, harus diproses melalui alur yang jelas dan terukur.
  • Sebagai “Koordinator” Organisasi Perangkat Daerah (OPD): Sekda bertugas membantu Kepala Daerah dalam mengoordinasikan seluruh dinas dan badan teknis. Dalam konteks jalan rusak Lambitu, Sekda adalah pihak yang seharusnya langsung berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) untuk meminta data teknis, status anggaran, dan riwayat penanganan.
  • Sebagai “Filter dan Jembatan” bagi Kepala Daerah: Sekda berperan sebagai jembatan utama antara kepentingan eksternal (masyarakat) dengan Kepala Daerah (Bupati). Ia memfilter informasi, menyiapkan bahan, dan memberikan pertimbangan teknis kepada Bupati agar keputusan yang diambil tepat sasaran.

 

Analisis Peran: Jembatan atau Justru Dinding Penghalang?

Dengan memahami tiga fungsi di atas, kita dapat menganalisis peran apa yang sesungguhnya sedang dimainkan oleh Sekda Kabupaten Bima dalam kasus surat audiensi dari APPL dan LBHPRI.

Alih-alih memainkan peran sebagai Manajer Administrasi yang efisien, Sekda justru menampilkan citra seorang manajer yang membiarkan “berkas” penting terbengkalai tanpa kejelasan. Penantian selama 13 hari tanpa respons sama sekali menunjukkan adanya kelumpuhan dalam fungsi paling dasar, yaitu manajemen surat-menyurat dan penjadwalan.

Selanjutnya, alih-alih bertindak sebagai Koordinator yang proaktif, keheningan ini mengindikasikan bahwa tidak ada perintah koordinasi yang turun ke Dinas PUPR. Seharusnya, dalam beberapa hari setelah surat diterima, Sekda sudah memegang data awal dari dinas teknis sebagai bahan untuk dilaporkan kepada Bupati. Fakta bahwa belum ada jadwal audiensi menandakan proses koordinasi ini kemungkinan besar tidak berjalan.

Yang paling fatal, alih-alih menjadi Jembatan yang menghubungkan suara rakyat dengan telinga Bupati, Sekda dalam kasus ini secara efektif telah berubah menjadi Dinding Penghalang. Dengan tidak memproses permohonan audiensi, Sekda secara langsung memutus jalur dialog formal yang hendak dibangun oleh masyarakat. Aspirasi yang seharusnya difasilitasi justru dibenturkan pada tembok tebal birokrasi yang dingin dan bisu.

 

Bukan Sekadar Kelalaian, Tapi Kegagalan Menjalankan Fungsi

Jadi, mandeknya surat audiensi Lambitu bukanlah sekadar kelalaian administratif biasa. Ini adalah sebuah potret kegagalan Sekda dalam menjalankan setidaknya tiga fungsi vital yang diamanatkan oleh undang-undang. Ini menunjukkan bahwa motor birokrasi tidak hanya berjalan lambat, tetapi mungkin sedang mogok di pos komando utamanya.

Kegagalan ini memiliki dampak serius: ia merusak kepercayaan publik pada jalur formal, menyuburkan apatisme, dan memprovokasi lahirnya gerakan-gerakan alternatif di luar koridor birokrasi. Pada akhirnya, persoalan ini bukan lagi tentang jalan rusak di Lambitu, melainkan tentang rusaknya fungsi pelayanan dan koordinasi di jantung pemerintahan Kabupaten Bima, yang ironisnya dipimpin oleh seorang Sekretaris Daerah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *