Bima, 6 September 2025 || Kawah NTB – Polemik hukum yang mengguncang internal Partai Gerindra di Bima memasuki episode baru yang lebih tajam. Setelah kubu H. Yasin, anggota DPRD NTB, melabeli laporan polisi yang dilayangkan Sulaiman MT SH sebagai fitnah, kini giliran mantan anggota DPRD Bima periode 2014-2019 itu yang memberikan respons menohok. Bukan dengan bantahan di media, melainkan dengan sebuah tantangan terbuka yang secara strategis membalikkan tekanan dan menuntut pembuktian di ranah hukum.
Melalui sumber terpercayanya, Sulaiman MT SH menyatakan kesiapannya untuk menanggung segala konsekuensi hukum, termasuk dilaporkan balik atas tuduhan pencemaran nama baik atau laporan palsu, asalkan H. Yasin memiliki keberanian untuk menempuh jalur hukum tersebut.
“Bapak Sulaiman siap menerima tanggung jawab hukum penuh jika H. Yasin punya keberanian untuk melaporkan dirinya ke polisi atas tuduhannya yang mengatakan kalau laporan Bapak Sulaiman itu fitnah,” tegas sumber tersebut kepada Kawah NTB, Sabtu (6/9/2025).
Pernyataan ini bukan sekadar gertakan, melainkan sebuah manuver cerdas yang didasari logika sederhana namun mematikan, yang secara efektif menelanjangi narasi korban fitnah yang coba dibangun oleh pihak H. Yasin.
LAPORAN SULAIMAN SEBELUMNYA
Langkah berani Sulaiman ini tentu tidak datang dari ruang hampa. Publik diingatkan kembali pada laporan resmi yang menjadi pemicu seluruh drama politik ini. Sebelumnya, panggung politik NTB diguncang ketika Sulaiman MT SH secara resmi melaporkan rekan seperjuangannya, Yasin S.Pd.i., ke Polres Bima Kota.
Tuduhannya sangat serius: dugaan tindak pidana penggelapan dan penipuan atas iuran wajib partai sebesar Rp 119 juta. Uang tersebut merupakan setoran loyalitas Sulaiman kepada Partai Gerindra selama ia menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Bima periode 2014-2019. Laporan ini membuka kotak pandora tentang dugaan pengkhianatan politik yang terjadi selama lima tahun penuh di antara dua kader yang seharusnya saling menjaga.
ORANG PAHAM HUKUM TAKKAN BERTINDAK BODOH
Kini, publik diajak untuk berpikir jernih. Bagaimana mungkin seorang Sulaiman, mantan legislator yang sangat memahami peta politik dan risiko hukum, nekat melaporkan seorang anggota DPRD provinsi yang aktif tanpa didasari bukti-bukti yang ia yakini kuat?
“Yang melapor ini bukan orang sembarangan, dan yang dilaporkan pun bukan figur biasa. Tentu Bapak Sulaiman sudah mengkalkulasi segalanya. Tidak mungkin beliau mempertaruhkan nama baik dan bahkan kebebasannya sendiri dengan membuat laporan palsu yang ancaman hukumannya tidak main-main,” lanjut sumber tersebut.
Seorang pelapor dalam kasus seperti ini sangat sadar akan pedang bermata dua dari sebuah laporan polisi, yakni potensi laporan balik atas tuduhan laporan palsu sesuai Pasal 220 KUHP. Keberanian Sulaiman untuk tidak hanya melapor, tetapi juga secara terbuka siap menghadapi laporan balik, menunjukkan tingkat kepercayaan diri yang sangat tinggi terhadap alat bukti yang dimilikinya. Ini adalah sinyal jelas bahwa ia tidak sedang bermain-main, melainkan sedang menuntut haknya.
DUA ARENA YANG BERBEDA, HUKUM VS MEDIA
Dengan tantangan terbuka ini, narasi pertarungan telah bergeser. Isu utamanya bukan lagi tentang apakah Yasin bersalah?, tetapi telah berkembang menjadi apakah Yasin berani membuktikan klaim fitnahnya di kantor polisi?.
Sulaiman telah memilih arenanya, yaitu arena hukum yang penuh dengan pembuktian dan konsekuensi. Sementara itu, H. Yasin hingga saat ini masih memilih arena media yang lebih longgar dan penuh dengan retorika.
Kini, bola panas itu menggelinding deras ke arah H. Yasin. Publik kini mengamati dengan saksama, siapakah yang benar-benar ksatria dalam pertarungan ini? Apakah ia yang berani mengambil risiko dengan melapor dan siap dilaporkan balik, atau ia yang hanya berlindung di balik klaim terfitnah tanpa berani mengujinya secara hukum? Jawaban atas pertanyaan itu tidak akan ditemukan dalam siaran pers, melainkan dalam surat laporan polisi berikutnya jika memang ada.




















