Bima, 22 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) Ntb – Jika pembangunan adalah rumah besar republik, maka Lambitu adalah anak yang ditinggal di luar pagar. Kalimat ini diucapkan dengan lantang oleh Bung Usmanyah, seorang pemuda Lambitu yang kini menjadi suara paling menyengat atas perlakuan Pemerintah Kabupaten Bima terhadap wilayahnya.
“Kami ini bukan anak sambungan. Kami bukan wilayah sambilan. Tapi 20 tahun kami disuruh bersabar, padahal yang kami tuntut cuma satu: jalan!” tegas Bung Usmanyah, menyentil telinga kekuasaan.
Bagi Bung Usmanyah, Lambitu bukan sekadar daerah pinggiran. Ia adalah simbol daerah yang dikerdilkan secara politik, dilewatkan secara anggaran, dan dipinggirkan secara keberpihakan.
“Kalau bicara pemerataan pembangunan, maka Lambitu adalah bukti bahwa semua teori indah itu hanya hidup di seminar, bukan di APBD.”
Ia menyebut wilayahnya seperti anak haram pembangunan tidak diakui secara infrastruktur, tapi diminta taat saat pemilu datang.
“Kami cuma dicari saat suara dibutuhkan. Tapi ketika lubang jalan kami membesar, para wakil rakyat langsung lupa jalur Lambitu, seakan GPS mereka hanya berfungsi lima tahun sekali.”
Bung Usmanyah tidak menahan kritik. Ia menyasar langsung pada Bupati Bima Ady Mahyudi dan seluruh anggota DPRD, menyebut mereka sebagai kolaborator pembiaran, jika tak segera menjadikan Lambitu sebagai prioritas nyata.
“Apa gunanya DPRD kalau tidak bisa memperjuangkan satu jalan strategis? Atau jangan-jangan mereka hanya jago bicara ‘reses’ tapi tak bisa mengeja kata ‘aspal’? Kami sudah lelah dijanjikan proyek khayalan dan pendataan palsu. Kami butuh realisasi, bukan dokumentasi penuh senyum.”
Ia juga menantang Bupati:
“Kalau Bupati mengusung semboyan ‘Bima Bermartabat’, kenapa Lambitu masih berkubang dalam lumpur? Kami tidak butuh martabat dalam pidato, kami butuh martabat dalam bentuk jalan yang bisa dilalui kendaraan saat hujan.”
Bung Usmanyah menegaskan bahwa tuntutan warga Lambitu bukan berlebihan. Ia menyebut, pembangunan jalan adalah hak dasar, bukan permintaan istimewa.
“Kami tahu desa lain punya balai kesehatan, gedung olahraga, taman bermain. Kami tidak iri. Kami cuma mau satu: akses yang manusiawi. Kenapa kami harus terus dianggap beban? Atau nilai kami memang dihitung berdasarkan potensi politik yang tak menguntungkan kekuasaan?”
Usmanyah menyindir bahwa mungkin satu-satunya cara agar pemerintah sadar adalah ketika rakyat Lambitu terpaksa mengangkut petisi ke kantor bupati dengan gerobak, karena jalan tak bisa dilewati sepeda motor.
“Kalau rakyat harus berdarah dulu, baru negara peduli maka negara itu sedang salah urat. Dan kalau DPRD harus viral dulu, baru rapat maka wakil itu bukan sedang mewakili, tapi sedang mengamankan posisi.”
Bung Usmanyah menegaskan bahwa pemuda Lambitu siap bergerak. Bukan dengan kekerasan, tapi dengan kekerasan fakta, keberanian suara, dan konsistensi tuntutan.
“Kami bukan penduduk kelas dua. Kami bukan titik kecil yang bisa dihapus dalam kalkulasi pembangunan. Kami adalah bagian utuh dari Kabupaten Bima. Dan jika pemerintah lupa, maka kami akan membuat mereka mengingatnya setiap hari, setiap tulisan, setiap teriakan.”
Bung Usmanyah menutup dengan satu kalimat:
“Jalan Lambitu sudah rusak. Tapi akal sehat kami tidak. Dan kalau negara belum datang, maka suara kami akan datang ke muka negara tanpa basa-basi.”



							
















