banner 728x250

Membedah Tujuh Tahap Krusial Penyusunan APBD sebagai Instrumen Kebijakan Publik

BIMA, 9 September 2025 || Kawah NTB – Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) seringkali dianggap sebagai dokumen teknis yang rumit dan hanya dipahami oleh birokrat. Namun, pada hakikatnya, APBD adalah wujud konkret dari kontrak sosial antara pemerintah daerah dan warganya. Setiap rupiah yang tercantum di dalamnya menentukan arah pembangunan, kualitas layanan publik, dan pada akhirnya, nasib jutaan rakyat di daerah.

Memahami mekanisme penyusunannya bukan lagi sekadar pengetahuan administratif, melainkan sebuah hak dan kewajiban bagi publik untuk mengawal agar setiap alokasi anggaran benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat. Proses yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 ini adalah arena utama di mana aspirasi publik diperjuangkan menjadi kebijakan nyata.

Berikut adalah tujuh tahapan krusial dalam mekanisme penyusunan APBD, dilihat dari kacamata kebijakan publik dan partisipasi warga.

1. Gerbang Aspirasi Rakyat: Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD)

Tahap pertama ini adalah fondasi dari seluruh proses anggaran. Di sinilah partisipasi publik memegang peran sentral melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Forum ini, yang idealnya berjalan dari tingkat desa/kelurahan hingga kabupaten/kota, menjadi gerbang utama bagi masyarakat untuk menyuarakan kebutuhan riil: perbaikan jalan, akses air bersih, fasilitas kesehatan, hingga program pemberdayaan ekonomi. RKPD yang berkualitas adalah cerminan keberhasilan pemerintah dalam menyerap dan memprioritaskan aspirasi tersebut, bukan sekadar dokumen formalitas.

2. Arah Kebijakan Ditetapkan: Kesepakatan KUA dan PPAS

Setelah aspirasi terhimpun dalam RKPD, pemerintah daerah (eksekutif) merumuskannya ke dalam dokumen Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS). KUA adalah narasi kebijakan fiskal, sementara PPAS adalah angka pagu anggaran untuk setiap program prioritas. Dokumen ini kemudian diajukan kepada DPRD. Pada tahap inilah pertarungan gagasan antara eksekutif dan legislatif dimulai. Publik perlu mengawasi apakah kesepakatan KUA-PPAS antara kedua lembaga ini masih sejalan dengan hasil Musrenbang atau justru bergeser ke arah kepentingan politis.

3. Penerjemahan Teknis: Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) OPD

Dengan pagu anggaran yang telah disepakati, setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD) atau dinas menerjemahkan kebijakan tersebut ke dalam program dan kegiatan yang lebih detail melalui Rencana Kerja dan Anggaran (RKA). Di sinilah masyarakat dapat melihat secara spesifik bagaimana usulan mereka diwujudkan. Pertanyaan kritis yang perlu diajukan publik adalah: Apakah program yang dirancang oleh dinas terkait benar-benar efisien, efektif, dan menjawab akar masalah yang dihadapi warga?

4. Kompilasi Komitmen: Pengajuan Rancangan APBD ke DPRD

Seluruh RKA dari OPD dikompilasi menjadi satu dokumen utuh bernama Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) APBD. Dokumen inilah yang secara resmi diajukan oleh kepala daerah kepada DPRD, paling lambat pada minggu pertama Oktober. Raperda ini merupakan representasi dari komitmen belanja pemerintah selama satu tahun ke depan. Keterbukaan dokumen ini kepada publik menjadi kunci agar masyarakat dapat menelaah dan memberikan masukan sebelum dibahas lebih lanjut.

5. Uji Publik di Parlemen: Pembahasan dan Persetujuan DPRD

Inilah tahap di mana fungsi pengawasan (kontrol) DPRD diuji. Sebagai wakil rakyat, anggota dewan wajib “membantai” setiap usulan anggaran yang tidak pro-rakyat dan memperjuangkan program-program yang menjadi aspirasi konstituennya. Rapat-rapat komisi dengan OPD menjadi ajang adu data dan argumentasi. Persetujuan DPRD dalam rapat paripurna menandakan bahwa secara politik, anggaran tersebut telah dianggap representatif terhadap kehendak rakyat.

6. Sinkronisasi dan Kontrol: Evaluasi oleh Pemerintah Atasan

Raperda APBD yang telah disetujui DPRD tidak serta-merta berlaku. Dokumen ini harus dievaluasi oleh Gubernur (untuk APBD Kabupaten/Kota) atau Menteri Dalam Negeri (untuk APBD Provinsi). Tujuan evaluasi ini adalah untuk memastikan sinkronisasi dengan kebijakan nasional dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ini adalah mekanisme kontrol untuk menjaga agar kebijakan daerah tetap berada dalam koridor negara kesatuan.

7. Legitimasi dan Pelaksanaan: Penetapan Menjadi Peraturan Daerah (Perda)

Setelah lolos evaluasi dan melalui penyesuaian jika diperlukan, Raperda APBD akhirnya ditetapkan menjadi Peraturan Daerah (Perda) paling lambat pada 31 Desember. Sejak saat itu, APBD menjadi landasan hukum yang mengikat bagi pemerintah daerah untuk membelanjakan uang rakyat. Namun, bagi publik, ini bukanlah akhir, melainkan awal dari fase pengawasan implementasi anggaran agar tepat sasaran dan tidak diselewengkan.

Pada akhirnya, APBD adalah tentang pilihan dan prioritas. Dengan memahami setiap tahapannya, masyarakat dapat berpartisipasi aktif untuk memastikan bahwa pilihan dan prioritas pemerintah daerah adalah untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *