Bima, 23 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Jika sebelumnya kita mengendus aroma patronase kekuasaan dalam penanganan kasus M alias O, kini skandal ini semakin membusuk, menyisakan bau anyir kemunafikan hukum dan standar ganda yang menjijikkan di tubuh Kejaksaan Negeri Raba Bima. Penjelasan yang beredar tentang pengembalian kerugian negara sebesar 200 juta rupiah oleh M alias O sebagai alasan tidak ditetapkannya ia sebagai tersangka adalah tamparan keras bagi akal sehat dan prinsip-prinsip penegakan hukum di negeri ini.
“Ini bukan sekadar kekeliruan dalam penafsiran hukum; ini adalah disorientasi fundamental terhadap jiwa konstitusi kita,” tegas Bung Mhikel, Divisi Non Litigasi LBHPRI, dengan nada satire yang menusuk. “Konon, M alias O mengembalikan 200 juta rupiah. Lantas, apakah tindak pidana korupsi kini bisa diselesaikan layaknya utang piutang perdata? Apakah korupsi sekarang setara dengan sewa menyewa yang bisa ditarik ulur dengan uang? Jika demikian, maka Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita patut direvisi dan diganti dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang!”
Bung Mhikel menyoroti bahwa logika Kejari Raba Bima ini tidak hanya sesat dan menyesatkan, tetapi juga meruntuhkan sendi-sendi keadilan. “Menurut mereka, pengembalian kerugian negara dapat menggugurkan status tersangka dan menghilangkan unsur pidana. Jika ini adalah fatwa hukum baru dari Kejari Raba Bima, maka saya sarankan agar mereka segera mendeklarasikannya secara terbuka. Karena jika itu benar, maka para koruptor yang kini mendekam di balik jeruji besi, bahkan yang sudah divonis, seharusnya bisa pulang kampung dengan modal mengembalikan uang hasil rampokannya!” sindirnya pedas, menggambarkan betapa absurdnya pemikiran tersebut.
Ia menegaskan bahwa dalam hukum pidana, khususnya tindak pidana korupsi, pengembalian kerugian negara adalah faktor yang meringankan, bukan menghapuskan unsur pidana. “Unsur niat jahat (mens rea) dan perbuatan melawan hukum (actus reus) telah terpenuhi saat tindakan korupsi dilakukan. Pengembalian uang hanya menunjukkan iktikad baik setelah perbuatan pidana terjadi, bukan berarti perbuatan itu tidak pernah ada. Ini adalah pemahaman hukum yang kacau balau, bahkan cenderung disengaja demi kepentingan tertentu.”
“Ketika aparat penegak hukum, yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan, justru mengadopsi logika pedagang pasar, menukar keadilan dengan angka rupiah, maka di sinilah ‘institutional collapse in disguise’ (kejatuhan lembaga yang terselubung) itu terjadi,” lanjut Bung Mhikel, suaranya meninggi. “Hukum tidak lagi menjadi pedoman, melainkan alat negosiasi. Keadilan tidak lagi universal, melainkan komoditas yang bisa dibeli.”
Lebih lanjut, Bung Mhikel menekankan bahwa sikap Kejari Raba Bima ini tidak hanya merusak reputasi institusi itu sendiri, tetapi juga mengirimkan pesan berbahaya kepada publik: “Bahwa korupsi itu boleh saja, asalkan Anda punya uang untuk mengembalikan kerugiannya nanti. Ini adalah legalisasi tidak langsung terhadap tindak pidana korupsi, sebuah bentuk korupsi tertinggi yang diselimuti jubah hukum yang keliru.”
“Jika M alias O bisa ‘bersih’ hanya dengan mengembalikan uang, lalu bagaimana dengan para tersangka lain yang terlibat dalam dokumen yang sama, dengan peran yang identik, namun kini telah ditetapkan sebagai tersangka dan menjalani proses hukum? Apakah mereka kurang beruntung karena tidak punya 200 juta untuk membeli kebebasan mereka? Atau apakah Kejari Raba Bima sedang mempraktikkan asas persamaan di hadapan hukum yang berlaku hanya bagi segelintir orang?” ia mempertanyakan dengan nada menantang.
“Masyarakat menunggu bukan hanya penangkapan, tapi pembuktian bahwa republik ini masih dijaga oleh mereka yang bersumpah atas nama keadilan,” pungkas Bung Mhikel, menyisakan pertanyaan menggantung yang menuntut pertanggungjawaban. “Jika Kejari Raba Bima terus memilih jalan damai ala perdata untuk tindak pidana korupsi, maka mereka tidak hanya mempertaruhkan reputasi, tetapi juga menggoyang kepercayaan konstitusional yang lebih dalam. Keadilan yang bisa dinegosiasikan adalah bentuk korupsi tertinggi! Dan Kejari Raba Bima, melalui kasus M alias O ini, sedang menampilkannya dengan sangat gamblang di hadapan publik.”








































