Bima, 1 Agustus 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Di tengah dinamika politik dan pemerintahan daerah, muncul sebuah pertanyaan fundamental yang menyentuh persinggungan antara fungsi legislatif dan peran dalam organisasi kemasyarakatan: bolehkah seorang Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) aktif merangkap jabatan sebagai Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK)?
Pertanyaan ini bukan sekadar wacana, melainkan sebuah persoalan hukum dan etika yang krusial. Untuk menjawabnya secara tuntas, kita perlu merujuk langsung pada peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit melarang praktik rangkap jabatan tersebut.
Larangan Tegas dan Eksplisit dalam Undang-Undang
Jabatan seorang Anggota Dewan, baik di tingkat pusat maupun daerah, memiliki tiga fungsi utama yang sakral: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Untuk menjamin kemurnian dan objektivitas fungsi-fungsi ini, negara telah membuat pagar hukum yang sangat jelas.
Landasan hukum utama yang mengatur hal ini adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3).
Dalam undang-undang tersebut, larangan bagi Anggota Dewan untuk merangkap jabatan diatur secara spesifik dan tidak multitafsir. Untuk Anggota DPR, larangan ini tercantum dalam Pasal 236 ayat (1) huruf c, yang berbunyi:
“Anggota DPR dilarang merangkap jabatan sebagai: …pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.”
Ketentuan serupa juga berlaku untuk Anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota melalui pasal-pasal lain dalam undang-undang yang sama, yang mengadopsi substansi larangan tersebut. Klausul “badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD” menjadi titik sentral yang menjawab tuntas persoalan ini.
Status PKK dan Keterikatannya dengan APBD
PKK, sebagai gerakan pemberdayaan masyarakat, merupakan mitra strategis pemerintah yang operasionalnya didukung penuh oleh anggaran negara. Seluruh program kerja TP-PKK, dari tingkat pusat hingga desa, secara rutin mendapatkan alokasi dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam bentuk dana hibah.
Dengan demikian, TP-PKK secara hukum tidak dapat dimungkiri masuk dalam definisi “badan lain yang anggarannya bersumber dari APBD”. Ketua TP-PKK, sebagai pimpinan tertinggi di tingkatannya, adalah pejabat yang bertanggung jawab penuh atas pengelolaan dan pertanggungjawaban dana tersebut.
Konsekuensi Hukum: Pelanggaran Absolut dengan Sanksi Pemberhentian
Jika seorang Anggota DPRD aktif juga menjabat sebagai Ketua PKK, maka secara otomatis ia telah melanggar larangan dalam UU MD3. Terjadi sebuah konflik kepentingan absolut dimana ia menjadi pengawas sekaligus yang diawasi; pemberi persetujuan anggaran sekaligus pengguna anggaran.
UU MD3 tidak memberikan toleransi terhadap pelanggaran ini. Sanksi yang diatur sangat tegas dan tidak main-main. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 237 ayat (2) UU MD3:
“Anggota DPR yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 236 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPR.”
Artinya, konsekuensi dari rangkap jabatan ini bukanlah sekadar teguran atau sanksi administratif ringan, melainkan sanksi maksimal berupa pemberhentian dari jabatannya sebagai Anggota Dewan.
Kesimpulan
Berdasarkan tinjauan yuridis yang merujuk langsung pada bunyi utuh pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, maka dapat disimpulkan secara tegas:
Seorang Anggota DPRD dilarang secara hukum untuk merangkap jabatan sebagai Ketua PKK. Praktik ini bukan lagi wilayah abu-abu atau sekadar persoalan etika, melainkan sebuah pelanggaran langsung terhadap undang-undang dengan ancaman sanksi pemberhentian. Penegakan aturan ini adalah sebuah keharusan demi menjaga integritas lembaga legislatif dan memastikan bahwa uang rakyat yang dialokasikan melalui APBD diawasi secara independen dan tidak disalahgunakan oleh pihak yang sama yang menyetujuinya.



							
















