BIMA, 22 Agustus 2025 || Kawah NTB – Panggung terhormat DPRD Kabupaten Bima hari ini menjadi saksi bisu sebuah regresi peradaban yang memuakkan. Di atas panggung yang semestinya menjadi arena pertarungan gagasan, Nurdin dari Fraksi PKB justru mempertontonkan sebuah deklarasi final atas kematian nalar. Tindakannya menghancurkan meja aset negara bukan sekadar amukan tak terkendali; itu adalah pengakuan terbuka atas kebangkrutan intelektualnya. Ketika argumennya lumpuh dan otaknya tak lagi mampu berfungsi, Nurdin memilih jalan paling primitif: unjuk kekuatan otot.
Tindakan barbar ini adalah noda permanen yang tak terampuni. Meja yang hancur itu hanyalah simbol. Yang sesungguhnya ia hancurkan adalah martabat institusi legislatif, kepercayaan publik yang diembannya, dan esensi dari demokrasi itu sendiri. Nurdin telah secara telanjang menunjukkan bahwa dirinya adalah sebuah anomali seorang gladiator yang tersesat di dalam forum para negarawan. Ia telah membuktikan dengan tangannya sendiri bahwa ia tidak layak, tidak pantas, dan tidak memiliki kapasitas moral maupun intelektual untuk menyandang gelar “wakil rakyat”.
Patologi Politik: Saat Agresi Menggantikan Argumentasi
Mari kita bedah patologi ini secara terang. Perilaku Nurdin adalah manifestasi paling vulgar dari matinya nalar dalam politik. Ruang sidang paripurna adalah mimbar suci untuk diplomasi, lobi, dan perang argumen yang beradab. Namun, Nurdin mengubahnya menjadi ring tinju pribadi, sebuah tindakan yang mencerminkan kekerdilan pemikiran yang akut. Ini bukan lagi soal perbedaan pendapat, ini adalah soal ketidakmampuan fundamental untuk berpartisipasi dalam diskursus demokrasi.
Ketika seorang legislator memilih kekerasan fisik sebagai jawaban atas kebuntuan dialog, ia secara otomatis telah mendelegitimasi dirinya sendiri. Ia mengkhianati kontrak sosial dengan para pemilihnya yang menitipkan aspirasi untuk diperjuangkan dengan kecerdasan, bukan dengan intimidasi fisik. Rakyat Bima tidak memilih seorang preman berjubah Safari untuk menghancurkan properti yang dibeli dari keringat mereka. Mereka memilih seorang representasi akal sehat, yang kini telah terbukti absen total dari diri Nurdin.
PKB di Persimpangan Jalan: Amputasi Sel Kanker atau Biarkan Partai Membusuk
Kini, bola api kehinaan ini berada di tangan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Diam adalah persetujuan. Sanksi ringan adalah penghinaan terhadap akal sehat publik. PKB dihadapkan pada pilihan yang tak bisa ditawar: mengamputasi sel kanker ini dari tubuh partai atau membiarkan tumor ganas premanisme ini menyebar dan menggerogoti seluruh organ partai hingga membusuk.
Publik tidak butuh basa-basi politik atau pembelaan kader yang absurd. Publik menuntut satu hal: pemecatan Nurdin dan proses Pergantian Antar Waktu (PAW) secepatnya. Ini bukan lagi soal citra partai, ini adalah soal penyelamatan marwah demokrasi. Jika PKB gagal bertindak tegas, maka mereka secara sadar mendeklarasikan diri sebagai partai yang mentolerir kekerasan dan menempatkan loyalitas buta di atas integritas. Ini akan menjadi bunuh diri politik yang akan diingat sejarah sebagai momen ketika PKB memilih melindungi seorang perusak daripada menjaga kehormatan bangsa.
Ultimatum untuk Nurdin: Turun Tahta atau Dikenang Sebagai Aib
Untuk Nurdin, tidak ada lagi ruang untuk negosiasi atau pembelaan. Setiap detik ia masih menduduki kursi terhormat itu adalah sebuah penghinaan bagi rakyat Bima dan preseden buruk bagi masa depan politik daerah. Ia telah gagal total.
Maka dari itu, hanya ada satu jalan keluar yang tersisa jika ia masih memiliki sepotong kecil rasa malu: mundur secara sukarela. Turun dari panggung yang telah ia nodai dengan tangannya sendiri. Namun, jika ia memilih untuk bertahan, maka publik, sejarah, dan akal sehat akan menyeretnya turun secara paksa. Ia tidak akan dikenang sebagai politisi, melainkan sebagai monumen kebodohan, sebuah catatan kaki yang memalukan dalam sejarah demokrasi Bima. Seorang yang datang dengan mandat rakyat, namun pulang dengan cap “Perusak Aset Rakyat”. Panggung ini bukan untuk ototmu, Nurdin. Panggung ini untuk otak, yang sayangnya telah kau gadaikan untuk amarah sesaat. Mundurlah.




















