Bima, 13 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) Ntb – Dalam narasi hukum ketatanegaraan yang ideal, negara hadir sebagai pelindung hak-hak dasar warganya: hidup, sehat, dan bergerak bebas di atas tanah yang dijanjikan sebagai milik publik. Namun di Kecamatan Lambitu, kenyataan justru berjalan di atas jalan berlubang, berbatu, dan tak layak dilintasi. Infrastruktur jalan yang rusak parah selama dua dekade menjadi bukti nyata bahwa Pemerintah Kabupaten Bima di bawah kepemimpinan Ady-Irfan telah gagal menjalankan mandat konstitusionalnya.
Bung Arif, pemerhati hukum tata negara sekaligus aktivis advokasi publik, menyebut kondisi Lambitu sebagai simbol pengingkaran terhadap Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjamin hak atas lingkungan hidup yang sehat dan pelayanan publik yang layak.
“Jika rakyat harus ditandu di atas bebatuan demi bertemu fasilitas kesehatan, maka negara bukan absen tetapi sedang mengabaikan amanatnya,” tegas Bung Arif.
Tragedi meninggalnya dua bayi kembar dalam kandungan seorang ibu akibat keterlambatan medis di Lambitu tahun 2024 bukan sekadar cerita sedih; itu adalah alarm konstitusional. Kematian itu terjadi bukan karena ketidaksiapan tenaga medis, tetapi karena ambulans tak sanggup melintasi jalan yang semestinya menjadi tanggung jawab utama pemerintah daerah.
Menurut Bung Arif, slogan “Bima Bermartabat” yang dikibarkan pasangan Ady-Irfan telah berubah menjadi puisi politik tanpa makna yuridis. Janji “Perubahan” menjadi retorika rutin yang gagal hadir secara normatif maupun empiris di Lambitu.
“Martabat bukan soal pidato di panggung kampanye. Martabat adalah saat seorang warga Lambitu bisa lewat dengan aman tanpa harus jatuh dari motor karena lubang jalan selebar pengabaian,” sindir Bung Arif.
Dalam logika hukum publik, kealpaan pemerintah dalam memperbaiki jalan berarti melanggar asas perlindungan dan penyelenggaraan pelayanan dasar. Ketika negara membiarkan warganya hidup dalam risiko setiap hari, maka bukan masyarakat yang butuh sabar, tetapi pemimpin yang wajib disadarkan.
Oleh karena itu, Bung Arif menyerukan:
-Evaluasi total prioritas APBD Kabupaten Bima, dan alokasi anggaran darurat untuk pembenahan infrastruktur Lambitu
-Pernyataan resmi dari Bupati dan Wakil Bupati terkait komitmen realisasi janji kampanye “Perubahan”
-Pengawasan publik dan advokasi hukum terhadap potensi kelalaian birokratik yang mengakibatkan hilangnya nyawa dan rusaknya hak hidup masyarakat.
Jika jalan adalah akses kehidupan, maka kerusakan di Lambitu adalah sabotase terhadap hak hidup itu sendiri. Pemerintah Kabupaten Bima, di bawah Ady-Irfan, perlu disadarkan bahwa jalan bukan sekadar proyek ia adalah garis batas antara janji dan bukti, antara martabat dan pembiaran.
Dan jika hukum ketatanegaraan lahir untuk melindungi rakyat, maka rakyat Lambitu berhak berdiri dan berkata: “Kami bukan pinggiran. Kami adalah ujian utama integritas negara.”



							
















