BIMA, 20 Agustus 2025 || Kawah NTB – Panggung terhormat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bima telah dinodai oleh sebuah tontonan barbar yang memalukan. Aksi perusakan fasilitas negara oleh Nurdin, anggota dewan dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), bukan lagi sekadar delik pidana, melainkan sebuah deklarasi telanjang tentang kualitas wakil rakyat yang lebih mengedepankan arogansi otot ketimbang kapasitas otak.
Publik kini menuntut pertanggungjawaban mutlak. Pejabat dengan mentalitas preman seperti Nurdin tidak layak duduk di kursi legislatif. Ia seharusnya menunduk malu karena telah mengubah ruang publik yang beradab menjadi arena adu kekuatan primitif.
Logika Rusak Seorang Wakil Rakyat
Tindakan Nurdin merusak meja inventaris negara adalah cerminan dari kegagalannya yang paling fundamental sebagai seorang legislator. Ruang sidang dan kantor pemerintahan adalah mimbar untuk adu argumen, data, dan gagasan bukan tempat untuk melampiaskan amarah dengan merusak barang.
“Seorang anggota dewan digaji oleh rakyat untuk berpikir, berdebat, dan merumuskan kebijakan. Ketika ia memilih untuk menghancurkan meja, ia secara efektif mengakui bahwa kapasitas intelektualnya telah habis,” ujar seorang pengamat politik lokal. “Ini adalah tindakan yang menyedihkan. Dia seharusnya malu karena lebih menampilkan otot dibandingkan otak. Perilaku seperti ini adalah ciri seorang brandalan, bukan seorang negarawan.”
Nurdin telah mengirimkan pesan yang sangat berbahaya kepada masyarakat yang diwakilinya: bahwa ketika argumentasi buntu, kekerasan fisik adalah solusinya. Ini adalah antitesis dari demokrasi. Ia telah mendelegitimasi dirinya sendiri sebagai figur publik dan wajib segera menanggalkan jabatannya yang terhormat itu.
Ujian Akhir bagi PKB: Selamatkan Martabat Partai atau Lindungi Kader Gagal?
Di tengah cemoohan publik, sorotan paling tajam kini mengarah ke Partai Kebangiatn Bangsa (PKB). Keheningan dari elite partai adalah sebuah anomali yang memekakkan telinga. Setiap detik penundaan dalam mengambil sikap tegas terhadap Nurdin adalah persetujuan diam-diam terhadap premanisme politik yang ia pertontonkan.
PKB kini berada di persimpangan jalan yang menentukan citra dan kehormatan mereka:
Pilih Integritas: Dengan segera memproses Pergantian Antar Waktu (PAW) terhadap Nurdin. Ini adalah satu-satunya cara untuk membuktikan kepada publik bahwa PKB tidak mentolerir perilaku barbar dan menjaga standar etika kadernya.
Pilih Kehancuran Reputasi: Dengan melindungi Nurdin di balik dalih proses hukum. Langkah ini akan menjadi blunder politik yang fatal, karena akan menegaskan citra PKB sebagai partai yang memberikan ruang bagi kader arogan yang bertindak di atas hukum.
“Kasus ini adalah litmus test bagi PKB. Apakah mereka akan membuang satu apel busuk untuk menyelamatkan seluruh keranjang, atau membiarkan pembusukan itu menyebar?” tambah pengamat tersebut.
Publik tidak butuh lagi basa-basi politik. Aksi destruktif Nurdin adalah bukti sahih bahwa ia telah mengkhianati sumpahnya sebagai wakil rakyat. Tindakan tegas pemecatan dari PKB bukan hanya sebuah kebutuhan, tetapi sebuah keharusan untuk menyelamatkan wajah parlemen dan mengembalikan kepercayaan rakyat.






































