banner 728x250

Pokir 60 M Jadi Peluru: Perang Senyap Eksekutif Dan Legislatif Di Kabupaten Bima. Siapa Pemenangnya?

Bima, 2 Agustus 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Laporan LBH-PRI telah berhasil meruntuhkan “gencatan senjata semu” antara eksekutif dan legislatif. Kini, papan catur politik Bima telah diatur ulang. Setiap bidak harus bergerak dengan perhitungan matang, karena satu langkah yang salah tidak hanya berarti kekalahan, tetapi juga potensi kehancuran total.

DPRD yang kini kolektif menjadi terlapor berada dalam posisi paling kritis. Kepanikan awal akan segera berganti menjadi strategi bertahan hidup yang terkoordinasi. Mereka tidak akan diam menunggu nasib. Langkah-langkah mereka akan berfokus pada tiga pilar: konsolidasi internal, serangan balik, dan pembentukan narasi tandingan.

  •  Konsolidasi Internal & Doktrin “Satu Terancam, Semua Terancam” (Mutually Assured Destruction): Pembentukan Tim Krisis Informal: Para pimpinan fraksi dan anggota senior akan membentuk sebuah dewan perang informal. Tujuannya adalah menyatukan suara dan mencegah adanya anggota yang “bernyanyi” sendiri-sendiri ke kejaksaan. Mereka akan menerapkan doktrin: jika satu anggota jatuh, ia harus menarik yang lain, termasuk membocorkan informasi yang dapat menyudutkan eksekutif.
  •  Investigasi Internal Sumber Kebocoran: Langkah pertama tim ini adalah memetakan siapa “pengkhianat” di lingkaran mereka dan, yang lebih penting, siapa oknum di pihak eksekutif yang membocorkan data proyek Pokir. Informasi ini akan menjadi amunisi utama untuk serangan balik.
  • Sumpah Setia Faksional: Solidaritas tidak lagi dibangun atas dasar pertemanan, melainkan atas dasar ketakutan bersama. Mereka akan saling mengunci informasi, memastikan bahwa tidak ada yang bisa selamat sendirian.

 

Serangan Balik Melalui Fungsi Konstitusional:

  • Senjata Anggaran (Budgeting Power): Ini adalah kartu truf utama DPRD. Pada pembahasan APBD Perubahan atau APBD tahun berikutnya, mereka akan “menyandera” program-program unggulan Bupati. Setiap usulan anggaran dari dinas-dinas akan dipreteli habis-habisan. Proyek-proyek strategis Bupati yang membutuhkan persetujuan dewan akan ditunda atau bahkan dibatalkan dengan alasan “kajian yang belum mendalam”.
  • Senjata Legislasi (Legislation Power): Setiap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang diajukan eksekutif akan menghadapi jalan terjal. Prosesnya akan diperlambat, pasal-pasalnya akan diperdebatkan tanpa henti, menciptakan citra bahwa pemerintahan Bupati tidak efektif.
  • Senjata Pengawasan (Oversight Power): DPRD akan mengintensifkan Rapat Dengar Pendapat (RDP). Mereka akan memanggil para kepala dinas untuk isu-isu yang tidak terkait Pokir, namun bertujuan untuk mencari kesalahan lain dari pihak eksekutif. Ini adalah strategi “perang gerilya” untuk menguras energi dan fokus birokrasi pemerintah.

 

Membangun Narasi Tandingan: “Kriminalisasi Demi Kekuasaan Absolut”

  • DPRD akan secara masif mengkampanyekan narasi bahwa skandal ini bukanlah murni soal hukum, melainkan upaya politis dari eksekutif untuk melemahkan fungsi kontrol legislatif.
  • Mereka akan berargumen bahwa dana Pokir adalah aspirasi rakyat yang mereka perjuangkan, dan jika ada masalah, itu ada pada level teknis pelaksanaan oleh OPD (Organisasi Perangkat Daerah) di bawah kendali Bupati. Mereka akan memposisikan diri sebagai “pahlawan” yang dikriminalisasi karena berjuang untuk konstituen.

Pola Pengaturan dan Strategi Ofensif Pemerintah Bupati Bima: “Operasi Sapu Bersih dengan Tangan Halus”

Pihak eksekutif, yang sementara di atas angin, harus bermain cerdas. Kemenangan telak bisa menjadi blunder jika publik melihatnya sebagai arogansi kekuasaan. Strategi mereka akan berfokus pada isolasi, pemecah-belahan, dan penguatan citra.

Politik Pintu Belakang & Strategi “Belah Bambu”:

  • Identifikasi Target Lunak: Intelijen politik eksekutif akan bekerja untuk memetakan anggota DPRD. Siapa yang paling panik? Siapa yang buktinya paling lemah? Siapa yang berasal dari partai politik yang bisa diajak berkoalisi?
  • Menawarkan “Sekoci Penyelamat” Selektif: Eksekutif tidak akan melawan 45 anggota dewan secara bersamaan. Mereka akan mendekati faksi atau individu tertentu secara diam-diam, menawarkan “jaminan” informal atau keringanan politis. Imbalannya adalah dukungan mereka untuk memuluskan agenda Bupati di parlemen dan memecah belah soliditas DPRD.
  • Mengisolasi Vokalis Utama: Anggota dewan yang paling vokal melawan eksekutif akan dijadikan target utama, memastikan semua “amunisi” hukum dan data terfokus pada mereka untuk memberikan efek jera bagi yang lain.

Memanfaatkan Birokrasi dan Data Sebagai Senjata Senyap:

  • Kendali Penuh Atas Informasi: Eksekutif menguasai seluruh data perencanaan, penganggaran, dan laporan pertanggungjawaban proyek. Mereka dapat “membantu” Kejaksaan dengan menyediakan data yang secara sistematis menunjukkan bahwa kesalahan utama ada pada proses pengusulan dan pengawasan oleh DPRD, bukan pada eksekusi oleh dinas.
  • Peran Inspektorat Daerah: Bupati dapat memerintahkan Inspektorat untuk melakukan Audit Dengan Tujuan Tertentu (ADTT) terhadap seluruh proyek Pokir. Hasil audit resmi ini akan menjadi landasan hukum tambahan yang memperkuat dakwaan Kejaksaan dan semakin menyudutkan DPRD.

Eskalasi Komunikasi Publik & Citra “Pemimpin Bersih”:

  • Playing Victim: Bupati akan membangun citra sebagai pemimpin yang ingin bekerja cepat, namun “disandera” oleh kepentingan politik DPRD. Narasi yang akan dibangun adalah: “Ketika sumber ‘uang haram’ mereka (Pokir) diusik, mereka marah dan menghambat pembangunan untuk rakyat.”
  • Bypass Legislatif: Bupati akan menggencarkan komunikasi langsung ke masyarakat melalui media sosial, kunjungan kerja, dan program populis. Tujuannya adalah untuk mendapatkan legitimasi langsung dari rakyat, sehingga tekanan politik dari DPRD menjadi tidak signifikan.

Kesimpulan: Siapa Sebenarnya yang Pegang Kartu As?

Dalam pertarungan yang kompleks ini, Kartu As tidak dipegang oleh satu pemain tunggal, melainkan terbagi dan kekuatannya bergantung pada momentum.

  • Eksekutif (Bupati) memegang Kartu As Pembuka (Opening Ace). Mereka memiliki keunggulan inisiatif, kontrol data, dan kemampuan memecah belah lawan. Mereka bisa menentukan tempo permainan di awal.
  • Legislatif (DPRD) memegang Kartu Truf Konstitusional (Constitutional Trump Card). Kekuatan mereka untuk melumpuhkan anggaran dan legislasi adalah senjata pemungkas yang jika digunakan dapat membuat Bupati menjadi “lame duck” (pemimpin tanpa daya).

Namun, ada dua pemegang kartu yang sesungguhnya bisa mengubah seluruh alur permainan:

  • Kejaksaan Negeri Raba Bima: Mereka adalah The Wild Card. Jika Kejari bertindak profesional, independen, dan tanpa pandang bulu, mereka bisa membongkar kebobrokan di kedua belah pihak. Mereka yang memutuskan apakah “bola api” ini hanya membakar legislatif atau merembet ke gedung eksekutif. Integritas mereka adalah penentu akhir.
  • Rakyat Bima (melalui LBH-PRI dan gerakan sipil lainnya): Mereka adalah The Ultimate Ace. Tekanan publik yang masif dan konsisten adalah satu-satunya kekuatan yang tidak bisa dikontrol oleh manuver politik mana pun. Jika rakyat terus mengawal kasus ini, mereka dapat memaksa Kejaksaan bekerja lurus dan mencegah adanya “kompromi busuk” di antara elite.

Pada akhirnya, pertarungan ini bukan lagi sekadar siapa yang lebih licik, tetapi siapa yang akan kehilangan legitimasi di mata rakyat terlebih dahulu. Pihak yang salah melangkah dan terlihat paling serakah akan menjadi pihak yang pertama kali dilumat oleh krisis yang mereka ciptakan sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *