Bima, 1 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum – Dalam kutipan indah dari Dr. Frost, manusia digambarkan sebagai pelancong yang tengah mencari terang, menatap bayangan dirinya dan berupaya menuju ruang yang lebih cerah, hingga pada akhirnya, harapan terbesar mereka adalah menjadi “mentari” bagi orang lain. Imaji ini bukan sekadar puisi eksistensial, melainkan menyimpan makna yang dalam jika ditinjau dari pendekatan psikologi individual Alfred Adler.
Dalam pandangan Adler, manusia selalu digerakkan oleh dorongan untuk mengatasi perasaan inferioritas yang inheren sejak masa kanak-kanak. Pelancong yang disebut dalam kutipan mencerminkan individu yang menyadari “bayangannya” yaitu rasa rendah diri, luka masa lalu, atau ketidaksempurnaan yang belum disembuhkan.
Alih-alih terjebak di dalamnya, sang pelancong memilih untuk berjalan menuju cahaya sebuah bentuk metafora atas striving for superiority, yaitu perjuangan individu untuk menjadi lebih baik, namun bukan dalam bentuk dominasi atas orang lain, melainkan dalam bentuk pertumbuhan personal yang sehat dan konstruktif.
Adler menekankan pentingnya life style, yaitu pola unik tiap individu dalam menafsirkan dan merespons dunia. Ketika seseorang “mencari tempat yang lebih terang,” ia tidak sedang berpindah ruang secara fisik, tetapi mengubah gaya hidupnya, menata ulang keyakinan, tujuan, dan cara memaknai keberadaan dirinya.
Di sinilah titik kritis terjadi: apakah ia akan berhenti hanya ketika merasa nyaman, atau justru terus melangkah hingga keberadaannya menjadi sumber terang bagi orang lain?
Tujuan tertinggi dalam psikologi Adlerian adalah tercapainya social interest rasa kepemilikan terhadap kemanusiaan, empati, dan kontribusi sosial. Ketika seseorang telah menyadari luka dan kekurangannya, lalu tumbuh melewatinya dengan utuh, maka ia tak hanya sembuh untuk dirinya sendiri, tapi juga menjadi cahaya pemulih bagi sesama.
Menjadi mentari, dalam konteks ini, bukan sekadar menjadi orang yang bersinar, tapi menjadi pribadi yang menghangatkan kehidupan orang lain menyambungkan rasa, makna, dan harapan pada jiwa-jiwa yang mungkin masih berada dalam kegelapan pencarian.
Dr. Frost melalui metaforanya menggambarkan proses psikologis Adlerian dalam bentuk naratif: manusia tidak akan pernah utuh selama perjalanannya bersifat soliter. Di akhir hari, pencapaian psikologis seseorang bukan ditandai dengan kemenangan individual semata, tetapi sejauh mana ia telah mampu menjadi terang bagi jalan orang lain.
Karena pada akhirnya, menjadi manusia utuh adalah saat kita tidak hanya lepas dari bayangan kita sendiri, tetapi juga memantulkan cahaya bagi dunia di sekitar kita.



							
















