BIMA, 31 Agustus 2025 || Kawah NTB – Panggung politik Bima kembali berguncang, bukan karena gebrakan kebijakan pro-rakyat, melainkan oleh kebisuan memekakkan telinga dari sebuah partai yang seharusnya menjadi penjaga moralitas. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dalam kasus Nurdin, anggota DPRD yang merusak fasilitas negara, kini tampil sebagai pemelihara patologi politik, bukan sebagai agen perubahan.
Ujian Terakhir: PKB di Persimpangan Jalan
Kasus Nurdin bukan lagi sekadar masalah individu, melainkan barometer seberapa jauh sebuah partai rela menukar kehormatan dengan kekuasaan. Di tengah gelombang ketidakpercayaan publik terhadap lembaga legislatif, sikap diam PKB ibarat bensin yang disiramkan ke api kemarahan masyarakat. Masyarakat tidak butuh pernyataan basa-basi, mereka butuh tindakan nyata.
Partai ini kini berada di persimpangan jalan yang krusial. Satu jalan menuju regenerasi dan pemulihan kepercayaan, di mana mereka bertindak tegas dengan menyingkirkan parasit yang merusak citra partai. Jalan lain, yang tampaknya sedang mereka pilih, adalah jalan kompromi dan pembiaran, di mana kursi kekuasaan Nurdin lebih berharga dari marwah partai dan integritas moral.
Ancaman Nyata dari Kemarahan Publik
Kerusakan yang ditimbulkan Nurdin tidak hanya sebatas meja sidang yang hancur, tetapi juga pondasi kepercayaan publik yang terkikis. Dengan membiarkan Nurdin tetap duduk di kursinya, PKB secara tidak langsung melegitimasi tindakan arogansi dan kekerasan dalam berpolitik. Pesan yang sampai ke masyarakat sungguh mengerikan: Anda bisa berbuat apa saja, dan selama partai melindungi Anda, kursi aman dalam genggaman.
“Jika PKB tidak segera melakukan Penggantian Antar Waktu (PAW), mereka tidak hanya kehilangan simpati publik, tetapi juga kehilangan hak moral untuk berbicara tentang etika dan integritas,” ujar seorang pengamat politik lokal yang enggan disebut namanya. “Ini adalah saatnya bagi PKB untuk membuktikan bahwa mereka adalah partai rakyat, bukan tempat berlindung bagi politisi bermasalah.”
PKB tidak bisa lagi bersembunyi di balik alasan normatif. Mereka harus bertindak cepat dan tegas. Jika tidak, kemarahan publik yang terus memuncak bisa menjadi bumerang yang menghancurkan reputasi partai itu sendiri. Masyarakat Bima tidak bodoh. Mereka tahu mana oknum yang merusak dan mana partai yang pura-pura tidak melihat.
Mundur atau Ditarik oleh Rakyat
Keputusan ada di tangan PKB. Apakah mereka akan mengambil langkah berani untuk membersihkan diri dari parasit, atau membiarkannya tumbuh subur hingga menggerogoti akar-akar partai? Masyarakat Bima sudah lelah menunggu. Kesabaran mereka sudah berada di titik nadir.
Jika PKB gagal mengambil tindakan, bukan tidak mungkin gerakan moral dari masyarakat akan muncul, menuntut Nurdin turun dan memaksa partai untuk bertanggung jawab. Nurdin mungkin bersembunyi di balik kursinya, tetapi ia tidak akan bisa bersembunyi dari sorotan mata masyarakat yang sudah muak.
Waktu terus berjalan. Setiap detik keheningan PKB adalah pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip partai itu sendiri. Mundurkan Nurdin, atau hadapi konsekuensi bahwa rakyat Bima yang akan menarik kursi itu dari bawahnya.


