banner 728x250

Satu Kecamatan, Nol Polsek: Tragédi Pengabaian 20 Tahun yang Membuat Warga Lambitu Merasa Tak Dianggap Ada

Bima, 9 Agustus 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Matahari telah terbit dan terbenam lebih dari 7.300 kali di atas perbukitan Kecamatan Lambitu. Selama itu pula, satu generasi telah lahir, tumbuh dewasa, dan bahkan mulai menimang cucu. Namun, di antara ribuan pergantian hari itu, ada satu hal yang tak pernah berubah: kekosongan. Kekosongan dari sebuah simbol kehadiran negara yang paling mendasar, sebuah Markas Kepolisian Sektor (Mapolsek), yang membuat warganya bertanya dalam diam, “Apakah kami benar-benar dianggap ada?”
Ini bukanlah sekadar cerita tentang sebuah bangunan yang belum berdiri. Ini adalah sebuah tragedi sunyi tentang pengabaian, tentang hak yang tergerus oleh waktu, dan tentang perasaan menjadi warga negara yang terlupakan di negerinya sendiri.
Bukan Sekadar Gedung, Tapi Denyut Nadi Kehidupan
Bayangkan seorang pemuda dari desa di pelosok Lambitu, dengan ijazah di tangan dan harapan membara di dada, hendak melamar pekerjaan pertamanya. Syaratnya sederhana: selembar Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Bagi warga di kecamatan lain, ini adalah urusan satu atau dua jam. Namun baginya, ini adalah perjuangan satu hari penuh.
Ia harus mengorbankan upah kerja harian, mengeluarkan ongkos transportasi yang tidak sedikit untuk menempuh puluhan kilometer jalan yang tak selalu mulus menuju Polres Bima Kota. Ia harus berangkat saat fajar belum menyingsing dan pulang saat senja telah turun. Semua itu untuk selembar kertas yang merupakan haknya sebagai warga negara.
“Ini bukan soal jarak, tapi soal martabat,” ujar seorang tokoh masyarakat yang enggan disebutkan namanya. “Kami seolah dipaksa membayar ‘pajak’ waktu dan biaya lebih mahal hanya untuk mendapatkan pelayanan yang seharusnya menjadi hak kami. Anak-anak kami seringkali patah semangat bahkan sebelum berjuang.”
Kisah ini adalah potret kecil dari luka yang lebih besar. Bagaimana jika terjadi keadaan darurat? Kecelakaan lalu lintas di tengah malam, perselisihan antar warga yang memanas, atau bencana alam yang membutuhkan respons cepat? Jarak menjadi musuh utama. Menunggu bantuan datang dari kota terasa seperti menunggu takdir tanpa kepastian. Rasa aman, yang seharusnya menjadi hak dasar, terasa seperti sebuah kemewahan.
Suara yang Akhirnya Terdengar
Pengabaian selama dua dekade ini telah melahirkan kesadaran kolektif. Suara-suara yang dulu hanya menjadi keluh kesah di beranda rumah, kini menyatu menjadi sebuah tuntutan yang terorganisir.
Koordinator Aliansi Pemuda Peduli Lambitu (APPL), Bung Ipul, menyebutnya sebagai “ruang kosong” yang ditinggalkan negara. “Ketiadaan Polsek bukan hanya soal keamanan, tapi soal wibawa negara. Ruang kosong ini secara psikologis membuat kami merasa terisolasi, seolah kami bukan prioritas,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur LBH-PRI, Bung Imam Muhajir, menyorotinya dari perspektif hukum dan keadilan. “Ini adalah bentuk nyata dari ketidakadilan dalam pelayanan publik. Negara secara tidak langsung telah mendiskriminasi warganya sendiri di Kecamatan Lambitu. Ini adalah pelanggaran atas asas keadilan sosial,” jelasnya.
Sebuah Panggilan untuk Nurani
Kini, bola panas itu berada di tangan para pemangku kebijakan. Aspirasi ini bukan lagi sekadar permintaan proposal proyek. Ini adalah tagihan atas hutang negara yang telah menumpuk selama 20 tahun. Ini adalah sebuah panggilan nurani.
Memberikan Polsek untuk Lambitu bukan lagi soal analisis untung-rugi atau ketersediaan anggaran. Ini adalah soal memulihkan kepercayaan. Ini soal membuktikan kepada seorang ayah di Lambitu bahwa negara peduli pada keselamatan anaknya. Ini soal menunjukkan kepada seorang pemuda bahwa negara mendukung mimpinya untuk masa depan yang lebih baik.
Warga Lambitu tidak meminta istana megah. Mereka hanya meminta satu hal yang paling sederhana: pengakuan. Pengakuan bahwa mereka ada, bahwa suara mereka didengar, dan bahwa mereka adalah bagian yang utuh dan setara dari bangsa besar ini. Semoga, penantian panjang yang telah menjadi luka ini akan segera berakhir dengan berdirinya sebuah Polsek, sebagai monumen bahwa negara akhirnya telah pulang ke rumahnya di Lambitu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *