BIMA, 13 Agustus 2025 || Kawah NTB – Alih-alih meredam gejolak, pernyataan resmi yang dirilis Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH) Maria Donggo Masa pada Selasa (12/8) malam justru menyulut api kemarahan dan cemoohan publik yang lebih besar. Rilis yang dimaksudkan sebagai klarifikasi atas kegagalan menyita tumpukan sonokeling ilegal di Sambina’e, kini dipandang sebagai sebuah “pengakuan tertulis” yang memperkuat dugaan adanya sandiwara dan keterlibatan pejabat dalam praktik lancung tersebut.
Dalam sebuah manuver yang dinilai pengecut, Kepala BKPH Ahyar, S.Hut, M.Ling, yang menjadi sorotan utama, memilih untuk “menghilang” dan mendorong stafnya, Ahmad Joni, S.Hut, untuk menjadi tameng di hadapan media. Hasilnya adalah sebuah opera sabun institusional yang tragis sekaligus menggelikan: BKPH secara terbuka mengakui adanya kayu ilegal namun menyatakan diri “impoten” karena alasan klise “kendala anggaran”. Pernyataan ini tidak lagi dilihat sebagai blunder, melainkan sebagai bukti permulaan yang sempurna bagi Kejaksaan untuk memulai penyelidikan pidana.
Dekonstruksi Logika ‘Nol Rupiah’: Sebuah Kemustahilan Absolut
Pernyataan Ahmad Joni bahwa BKPH “membutuhkan tenaga untuk melakukan pengamanan, dan saat ini kami terbatas dalam hal anggaran” dianggap sebagai argumen yang menantang akal sehat dan logika administrasi negara.
Pertama, Anggaran Penindakan adalah Jantung Operasional. Dalam struktur anggaran lembaga penegak hukum mana pun, termasuk BKPH, pos untuk pengawasan, pengamanan, dan penindakan (termasuk penyitaan) adalah komponen inti yang tak terpisahkan dari Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA). Adalah sebuah kemustahilan absolut jika sebuah BKPH tidak memiliki satu rupiah pun alokasi untuk fungsi dasarnya.
“Ini sama saja dengan pemadam kebakaran mengaku tidak bisa memadamkan api karena tidak ada anggaran beli air. Atau polisi mengaku tidak bisa menangkap maling karena tidak ada uang untuk beli borgol. Ini lelucon paling tidak lucu yang pernah dipertontonkan sebuah institusi negara,” sindir Syamsuddin, aktivis lingkungan Bima. “Jika benar anggaran mereka nol untuk penindakan, maka Kepala BKPH Ahyar telah gagal total dalam perencanaan anggaran dan seharusnya dicopot karena inkompetensi, bahkan sebelum kita bicara soal pidana.”
Kedua, Mekanisme Koordinasi Diabaikan Secara Sengaja. Jika pun benar anggaran yang tersedia tidak mencukupi untuk operasi penyitaan skala besar, Standard Operating Procedure (SOP) yang berlaku mengharuskan Kepala BKPH melakukan dua hal:
Koordinasi Vertikal: Melaporkan temuan kepada atasan di Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi NTB untuk meminta dukungan dana taktis atau personel tambahan.
Koordinasi Horizontal: Menggandeng Aparat Penegak Hukum (APH) lain seperti Polres Bima Kota atau Kejaksaan Negeri Raba Bima yang memiliki sumber daya dan kewenangan untuk melakukan penyitaan bersama.
Fakta bahwa tidak ada satu pun dari mekanisme ini yang ditempuh mengindikasikan satu hal: masalahnya bukan pada ketiadaan dana, melainkan pada ketiadaan niat untuk bertindak.
Dari Dalih Menuju Pengakuan: Implikasi Hukum Pernyataan Resmi BKPH
Pernyataan yang dirilis melalui Ahmad Joni, S.Hut, secara tidak sadar telah menjadi “karpet merah” bagi Kejaksaan untuk menjerat para pejabat yang terlibat.
1. Unsur ‘Mengetahui’ Telah Terpenuhi Secara Sempurna.
Pernyataan tersebut adalah bukti otentik bahwa BKPH mengetahui secara pasti adanya tumpukan kayu sonokeling ilegal. Ini mematahkan semua kemungkinan pembelaan di kemudian hari bahwa mereka tidak tahu-menahu. Dalam hukum pidana, unsur “mengetahui” atau mens rea (niat jahat) adalah kunci. Dengan mengaku tahu tapi tidak bertindak, mereka telah membuktikan niatnya sendiri.
2. Pelanggaran Bergeser dari Kelalaian ke Pembiaran Disengaja.
Kasus ini tidak lagi bisa dipandang sebagai sekadar kelalaian (Pasal 421 KUHP). Ini adalah tindakan pembiaran secara sadar dan aktif oleh pejabat yang memiliki wewenang. Dengan menciptakan alasan fiktif “nol anggaran”, pejabat BKPH telah secara aktif mengambil keputusan untuk tidak menegakkan hukum, yang mana ini adalah bentuk penyalahgunaan wewenang paling nyata.
3. Dugaan Konspirasi (Pasal 55 KUHP) Semakin Kuat.
Logika publik kini berjalan lurus: Jika bukan karena uang, mengapa seorang pejabat berani mengambil risiko membiarkan barang bukti kejahatan kehutanan bernilai ratusan juta rupiah? Alasan “nol anggaran” yang terbukti lemah ini justru menjadi indikator kuat adanya alasan lain yang disembunyikan.
“Pengakuan tahu tapi tak berdaya ini adalah sinyal. Sinyal bahwa ada kekuatan atau ‘kepentingan’ yang lebih besar yang membuat mereka lumpuh. Inilah yang harus dibongkar Kejaksaan. Siapa yang dilindungi oleh Kepala BKPH Ahyar dengan sandiwara nol anggaran ini?” tambah Syamsuddin.
Panggilan Terbuka untuk Kejaksaan Negeri Raba Bima
Publik tidak lagi menuntut, tetapi menantang Kejaksaan Negeri Raba Bima untuk segera bertindak. Pernyataan resmi BKPH sudah lebih dari cukup sebagai bukti permulaan.
Langkah-langkah yang harus segera diambil Kejari adalah:
Memanggil dan Memeriksa Kepala BKPH Ahyar, S.Hut, M.Ling, bukan sebagai saksi, melainkan sebagai terperiksa utama dalam dugaan tindak pidana kehutanan dan penyalahgunaan wewenang.
Melakukan Audit Investigatif terhadap DPA dan realisasi anggaran BKPH Maria Donggo Masa untuk membuktikan secara formal kebohongan publik mengenai “nol anggaran”.
Menyita Tumpukan Kayu Sonokeling di Sambina’e sebagai barang bukti utama, sebuah langkah yang gagal total dilakukan oleh BKPH.
Kegagalan BKPH menegakkan hukum kini menjadi ujian sesungguhnya bagi integritas Kejaksaan. Apakah korps Adhyaksa akan diam dan turut serta dalam sandiwara ini, atau mereka akan membuktikan bahwa hukum di Bima masih memiliki taji?




















