Bima, 27 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Pernyataan membara dari LBHPRI yang menuding M alias O sebagai otak intelektual korupsi KUR BSI telah sukses menggeser episentrum gempa hukum di Bima. Kini, sorotan publik tidak lagi hanya tertuju pada para tersangka yang telah mengenakan rompi oranye, melainkan pada sebuah pertanyaan fundamental yang menggantung di atas gedung Kejaksaan Negeri Raba Bima: Apakah M alias O yang begitu sakti hingga kebal hukum, ataukah taji hukum Kejari Raba Bima yang ternyata tumpul dan loyo?
Pertanyaan ini bukan lagi sekadar desas-desus di warung kopi, melainkan sebuah dilema logis yang lahir dari penanganan kasus yang janggal. Di satu sisi, ada hipotesis bahwa M alias O adalah sosok yang memiliki “imunitas” tak tersentuh. Kekebalan ini bisa jadi dibangun dari jaring-jaring kekuasaan yang melindunginya, atau dari kekuatan finansial yang mampu membungkam dan melicinkan jalan. Dalam skenario ini, pengembalian uang 200 juta yang digembar-gemborkan itu bukanlah tanda penyesalan, melainkan sebuah “premi asuransi” untuk membeli kebebasan dan status “saksi” yang nyaman, bukan tersangka. Jika ini yang terjadi, maka Kejari Raba Bima hanyalah eksekutor tak berdaya di hadapan kekuatan yang lebih besar.
Di sisi lain, ada hipotesis yang jauh lebih memalukan bagi institusi itu sendiri: Kejari Raba Bima memang “loyo”. Keloyoan ini bisa berarti banyak hal. Bisa jadi karena kurangnya nyali untuk berhadapan langsung dengan “ikan kakap”, atau kurangnya kompetensi untuk merangkai bukti-bukti yang menjerat sang auctor intellectualis. Jauh lebih mudah dan aman untuk memenjarakan para “pion” yang posisinya lemah, lalu mengemasnya sebagai keberhasilan penegakan hukum. Ini adalah jalan pintas yang pengecut, sebuah strategi memilih lawan yang lemah untuk menghindari pertarungan yang sesungguhnya.
Analogi ular berbisa yang dilontarkan Bung Mhikel menjadi semakin relevan. Jika Kejari hanya berani memotong ekornya, apakah itu karena kepala ular itu terbuat dari baja anti-hukum, atau karena sang pemburu ular hanya membawa pisau tumpul dan tangan yang gemetar? Apapun jawabannya, hasilnya sama saja bagi warga yang telah digigit: racun korupsi tetap menjalar dan sang monster utama tetap bebas berkeliaran mencari mangsa baru.
Kini, bola panas ada di tangan Kajari Raba Bima. Setiap detik M alias O masih bebas menghirup udara tanpa status tersangka yang jelas, setiap momen di mana Kejari hanya fokus pada “wayang” dan bukan “dalang”, maka kepercayaan publik terhadap institusi ini semakin tergerus hingga ke titik nol. Publik tidak butuh pertunjukan sirkus penangkapan kroco. Publik menuntut pertanggungjawaban otak kejahatan.
Pada akhirnya, hanya ada dua kemungkinan kesimpulan dari drama hukum ini. Pertama, hukum di Bima memang bisa dibeli dan dikendalikan, dan M alias O adalah bukti hidupnya. Kedua, Kejari Raba Bima tidak memiliki kapasitas dan keberanian untuk menegakkan hukum secara adil dan merata. Keduanya adalah wajah dari kegagalan hukum yang menyedihkan.
Rakyat Bima kini menunggu pembuktian, bukan lagi pernyataan. Tindakan Kejari Raba Bima dalam beberapa hari ke depan akan menjadi jawaban paling jujur atas pertanyaan di atas. Apakah mereka akan menyeret M alias O dan membuktikan bahwa tidak ada yang kebal hukum, atau mereka akan terus diam dan mengkonfirmasi bahwa taji hukum mereka memang sudah loyo?








































