Bima, 24 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Menanggapi perkembangan terbaru kasus korupsi KUR BSI yang tak kunjung menemui titik terang keadilan, Bung Mhikel dari Divisi Non Litigasi Lembaga Bantuan Hukum Peduli Rakyat Indonesia (LBHPRI) mengeluarkan pernyataan yang jauh lebih keras dan menusuk. Menurutnya, Kejaksaan Negeri (Kejari) Raba Bima kini telah bergerak dari sekadar diskriminatif menjadi pelaku aktif dalam persekongkolan hukum.
“Jika sebelumnya kita hanya menduga ada anomali, kini kita menyaksikan sebuah pengkhianatan,” buka Bung Mhikel dengan nada tegas. “Panggung sandiwara hukum yang digelar Kejaksaan Negeri (Kejari) Raba Bima dalam kasus korupsi KUR BSI telah memasuki babak baru yang lebih busuk. Dengan membiarkan M alias O, sang ‘donatur’ 200 juta, bebas berkeliaran menghirup udara kemerdekaan sementara tersangka lain meringkuk dalam sel, Kejari Raba Bima telah melampaui sekadar diskriminasi hukum. Mereka telah secara sadar menanggalkan toga kehormatannya dan mengenakan jubah komplisitas.”
Bung Mhikel menegaskan bahwa ini bukan lagi soal interpretasi hukum, melainkan sebuah deklarasi keterlibatan. “Ini bukan lagi soal tafsir pasal yang lentur atau penerapan hukum yang tumpul ke atas. Ini adalah deklarasi terbuka bahwa Kejari Raba Bima telah menjadi bagian dari masalah. Membiarkan seorang tersangka utama dalam kasus korupsi tidak tersentuh setelah ‘itikad baik’ mengembalikan uang adalah bentuk persekongkolan jahat (criminele samenspanning) yang telanjang. Kejaksaan tidak lagi berfungsi sebagai aparat penegak hukum; ia telah bermutasi menjadi fasilitator, menjadi makelar kasus yang melegitimasi praktik ‘cuci dosa korupsi’ dengan selembar kuitansi pengembalian.”
Bung Mhikel, membedah logika yang ia sebut absurd dari kejaksaan. “Mari kita bedah logika absurd ini dengan pisau analisis hukum yang paling dasar,” ujarnya. “Apakah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU Tipikor yang kita kenal tiba-tiba memiliki bab tersembunyi yang berjudul ‘Pasal Penebusan Dosa Finansial’? Apakah ada doktrin baru dalam ilmu hukum yang menyatakan bahwa niat jahat (mens rea) dan perbuatan pidana (actus reus) bisa dihapuskan dengan transfer antarbank? Jika seorang pencuri ayam tertangkap dan mengembalikan ayam curiannya, apakah polisi akan menepuk pundaknya dan berkata, ‘Terima kasih atas kerja samanya, silakan pulang’?”
“Tentu tidak,” lanjutnya. “Si pencuri ayam tetap akan diproses karena tindak pidananya telah sempurna terjadi. Lalu, mengapa M alias O, yang diduga terlibat dalam kejahatan kerah putih yang merusak sistem dan kepercayaan publik, justru mendapat perlakuan bangsawan? Jawabannya sederhana dan memuakkan: Kejari Raba Bima sedang mempraktikkan hukum transaksional. Keadilan tidak lagi didasarkan pada bukti dan supremasi hukum, melainkan pada negosiasi di ruang belakang. Pengembalian kerugian negara yang seharusnya menjadi faktor yang meringankan di pengadilan, kini disulap menjadi tiket kebebasan di tingkat penyidikan.”
Menurut Mhikel, dampak dari tindakan ini sangat merusak marwah institusi. “Dengan membiarkan ini terjadi, Kejari Raba Bima tidak hanya merintangi keadilan (obstruction of justice), mereka turut serta melakukan kejahatan terhadap marwah penegakan hukum itu sendiri. Mereka menjadi arsitek dari sebuah preseden berbahaya: bahwa di Bima, korupsi adalah kejahatan yang bisa dinegosiasikan. Bahwa status tersangka adalah komoditas yang bisa ditawar. Ini adalah bentuk paling brutal dari pelecehan institusional (institutional contempt), di mana lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi justru menjadi bemper pelindung bagi para terduga pelaku.”
Oleh karena itu, Bung Mhikel menyerukan agar fokus publik beralih. “Maka, pertanyaannya kini bukan lagi ‘Apakah Kejari Raba Bima tebang pilih?’, melainkan ‘Apa peran Kejari Raba Bima dalam persekongkolan ini?’. Membiarkan M alias O bebas berarti memberikan kesempatan untuk menghilangkan barang bukti lain, memengaruhi saksi, atau bahkan melarikan diri. Setiap detik kebebasan yang dinikmati M alias O adalah detik di mana Kejari Raba Bima secara aktif berpartisipasi dalam potensi kekacauan hukum lebih lanjut.”
Menutup pernyataannya, Bung Mhikel memberikan ultimatum kepada aparat kejaksaan. “Publik tidak bodoh. Kami, para mahasiswa hukum, aktivis, dan warga yang muak, melihat ini bukan sebagai kelalaian, melainkan sebagai kesengajaan. Ini adalah permufakatan jahat yang dilegalkan oleh seragam dan stempel resmi. Jika Kejari Raba Bima tidak segera menyeret M alias O ke meja pertanggungjawaban yang sama dengan tersangka lainnya, maka mereka secara de facto telah mengakui: ‘Kami adalah bagian dari mereka.'”
“Pilihan kini di tangan Anda, para punggawa Adhyaksa di Raba Bima,” pungkasnya. “Teruslah bermain dalam teater absurd ini dan catatkan nama institusi Anda dalam sejarah kelam sebagai konspirator kejahatan, atau segera kembali ke khitah, seret semua pelaku tanpa pandang bulu, dan buktikan bahwa pedang keadilan Anda belum sepenuhnya berkarat dan dijual kiloan. Rakyat sedang mengawasi, dan kesabaran kami ada batasnya.”








































