banner 728x250

Skandal KUR BSI BIMA: Satu Tersangka Dilepas, Satu Sistem Diterabas dan Republik Milik Siapa?

Bima, 20 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Kasus korupsi dana Kredit Usaha Rakyat (KUR) BSI di Bima telah bermutasi dari sekadar berita kriminal menjadi sebuah studi kasus patologi kekuasaan. Ini bukan lagi tentang tiga tersangka yang ditahan dan satu yang melenggang bebas. Ini adalah tentang bagaimana sebuah institusi penegak hukum, dalam hal ini Kejaksaan Negeri (Kejari) Raba Bima, diduga kuat tidak lagi beroperasi berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum, melainkan berdasarkan kalkulus politik dan patronase.

Penetapan tersangka terhadap DI, R alias B, dan DA, sementara sosok M alias O dibiarkan tak tersentuh, adalah gejala dari sebuah penyakit yang lebih dalam. Ini adalah manifestasi dari sebuah sistem di mana aparat negara berpotensi bertransformasi menjadi ajudan bagi kepentingan oligarki lokal, bukan lagi sebagai abdi konstitusi.

Pertanyaan krusial yang harus diajukan publik yang tercerahkan bukanlah lagi “apakah” M alias O terlibat, melainkan “siapa” yang berada di belakangnya? Siapa arsitek politik yang membangun benteng impunitas di sekeliling sosok ini?

Menurut Bung Mhikel dari Divisi Non Litigasi LBHPRI, logika hukumnya terlalu sederhana untuk diabaikan. “Jika perannya dalam penandatanganan identik dengan tersangka lain, maka Pasal 55 KUHP tentang penyertaan sudah lebih dari cukup untuk menjeratnya. Fakta bahwa ia masih bebas bukanlah sebuah kelalaian, ini adalah sebuah keputusan politik,” ungkapnya.

Keputusan politik ini menandakan adanya sebuah kekuatan tak terlihat (invisible hand) yang sedang bekerja. Keengganan Kejari Raba Bima untuk menyentuh M alias O bisa dibaca sebagai sebuah sinyal ketundukan pada struktur kekuasaan non-formal yang lebih besar. Sosok M alias O kemungkinan bukan sekadar pelaku, tetapi simpul penting dalam sebuah jaringan yang jika diurai, dapat meruntuhkan bangunan patronase yang lebih luas. Melindunginya berarti melindungi sistem itu sendiri.

Apa yang dipertontonkan di Bima adalah cermin dari proses pembusukan institusional (institutional decay). Sebuah lembaga negara berhenti menjalankan fungsi dasarnya dan beralih melayani kepentingan partikular. Asas persamaan perlakuan di hadapan hukum, yang menjadi pilar negara hukum modern, secara efektif telah dimatikan.

“Mereka mengkhianati sumpah jabatannya,” tegas Bung Mhikel. “Ini bukan lagi soal menafsirkan hukum, ini soal keberanian dan integritas. Ketika hukum yang paling mendasar pun bisa dinegosiasikan, maka kita tidak sedang hidup di negara hukum, melainkan di negara kekuasaan.”

Sikap Kejari Raba Bima adalah preseden berbahaya yang mengirimkan pesan mengerikan kepada publik: keadilan di Bima memiliki label harga dan hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki koneksi ke pusat kekuasaan. Ini adalah bentuk korupsi yang paling merusak, yakni korupsi terhadap kewenangan dan kepercayaan publik.

Menyadari bahwa sistem lokal diduga kuat telah “tercemar”, langkah Bung Mhikel dan LBHPRI yang membawa isu ini langsung ke Jamwas adalah sebuah strategi eskalasi politik yang cerdas. Ini adalah upaya untuk membypass tembok kekuasaan lokal dan memaksa akuntabilitas dari level yang lebih tinggi.

“Ini adalah pertaruhan,” jelas Bung Mhikel. “Apakah Jamwas akan bertindak sebagai mekanisme koreksi internal yang fungsional, atau hanya akan menjadi ‘pemadam kebakaran’ yang tugasnya meredam gejolak di daerah demi menjaga citra korps?”

Pada akhirnya, kasus M alias O bukan lagi sekadar soal skandal korupsi dana KUR di sebuah kabupaten. Ini adalah sebuah referendum diam-diam tentang siapa pemilik sejati republik ini: hukum yang berdaulat, atau kartel politik yang tak tersentuh? Jawaban atas pertanyaan itu kini sedang dipertaruhkan di Bima.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *