Bima, 14 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) Ntb – Setelah resmi menyampaikan surat permohonan audiensi kepada Bupati Kabupaten Bima, pada hari yang sama, Lembaga Bantuan Hukum Peduli Rakyat Indonesia (LBHPRI) bersama Aliansi Pemuda dan Pemudi Lambitu (APPL) turut melayangkan surat identik kepada Pimpinan dan Anggota DPRD Kabupaten Bima. Surat tersebut langsung dimasukkan ke kantor DPRD sebagai bentuk penegasan bahwa masalah infrastruktur jalan di Kecamatan Lambitu adalah masalah kelembagaan, bukan hanya eksekutif.
Surat itu ditandatangani oleh Direktur LBHPRI, Imam Muhajir, SH, MH, dan Koordinator APPL, Saifullah, S.Ap., M.Ap., berisi permohonan audiensi sekaligus lima tuntutan strategis masyarakat Lambitu yang secara eksplisit menantang DPRD untuk tidak lagi berdiam di balik meja rapat anggaran. Kelima tuntutan tersebut mengarah pada:
1.Perbaikan total seluruh ruas jalan utama Kecamatan Lambitu
2.Penambalan lubang-lubang rawan kecelakaan
3.Penetapan prioritas Lambitu dalam Perubahan Anggaran Oktober 2025
4.Pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengawasan pembangunan
5.Tindak lanjut cepat dan terbuka atas seluruh keluhan masyarakat soal infrastruktur
“Surat ini bukan hanya teguran administratif, tapi panggilan konstitusional kepada DPRD agar menjalankan fungsi anggaran dan fungsi pengawasan seutuhnya,” tegas Imam Muhajir, saat dikonfirmasi oleh tim redaksi Kawah NTB.
LBHPRI secara hukum menilai bahwa DPRD memiliki kekuatan strategis dalam menentukan arah pembangunan melalui pengesahan dan realokasi APBD, serta pengawasan terhadap pelaksanaan teknis oleh eksekutif. Namun, faktanya, kerusakan jalan di Lambitu selama dua dekade justru menunjukkan bahwa kontrol legislatif terhadap Pemda Bima sangat lemah atau bahkan absen.
Koordinator APPL, Saifullah, S.Ap., M.Ap., dalam keterangannya menyebut bahwa jika permohonan audiensi ini tidak direspons dengan langkah serius dan terbuka, maka pihaknya bersama masyarakat Lambitu akan memobilisasi aksi demonstrasi yang menjadikan DPRD sebagai titik tekanan kedua setelah Bupati Bima.
“Kalau Dewan tetap tak bersuara, maka ruang sidang akan diganti dengan ruang massa. Kami akan datang bukan untuk menonton tetapi untuk menuntut,” ujarnya.
Lebih lanjut, Saifullah menyebut bahwa kelambanan DPRD dalam menyikapi kerusakan jalan Lambitu adalah pengabaian terhadap fungsi legislasi dan pengawasan, bahkan dapat dikategorikan sebagai kelalaian politik terhadap daerah terpencil yang paling membutuhkan perhatian negara.
“DPRD dipilih untuk mewakili suara rakyat. Tapi kalau suara Lambitu tidak pernah masuk dalam pengesahan anggaran, maka perwakilan itu telah kehilangan mandat moralnya.”
Dengan masuknya surat audiensi ini, LBHPRI dan APPL telah membuka dua jalur resmi kepada dua pilar pemerintahan: eksekutif dan legislatif. Jika keduanya tetap gagal merespons suara rakyat, maka gerakan demonstrasi bukanlah pilihan radikal melainkan opsi sah dalam sistem demokrasi lokal.
Karena jalan rusak di Lambitu bukan hanya aspal yang patah tetapi kepercayaan warga terhadap negara yang mulai retak.



							
















