banner 728x250

Takhta Retak Nurdin: Saat Kursi Dewan Lebih Berharga dari Kehormatan dan Akal Sehat

BIMA, 28 Agustus 2025 || Kawah NTB – Di panggung tragikomedi politik Bima, sebuah monumen baru tampaknya sedang dibangun. Bukan dari batu atau perunggu, melainkan dari arogansi murni dan lem perekat kekuasaan. Monumen itu adalah Nurdin, anggota DPRD dari Fraksi PKB, yang kini duduk begitu erat di kursinya seolah-olah kursi itu adalah satu-satunya benda yang tidak bisa ia hancurkan.

Sementara serpihan meja sang martir kayu demokrasi telah disapu bersih, noda pada kehormatan parlemen Bima ternyata lebih sulit dihilangkan. Nurdin, dengan sikap ngototnya yang legendaris, telah mengubah ruang sidang menjadi museum pribadinya. Di sana, ia memamerkan satu artefak paling langka: seorang wakil rakyat yang tuli terhadap suara rakyatnya sendiri.

Keheningannya bukan lagi emas, melainkan pengakuan bersalah yang paling nyaring. Setiap pagi ia melenggang ke gedung dewan, ia tidak sedang bekerja untuk rakyat. Ia sedang melakukan ziarah ke takhta kekuasaannya sendiri, memastikan takhtanya masih hangat, meskipun fondasi legitimasinya telah remuk redam, sama seperti meja malang yang menjadi korban amarahnya.

Ujian Kesabaran Publik, Bukan Kehormatan Lagi

Publik sudah selesai menguji kehormatannya. Hasilnya: nihil. Ujian itu kini telah berevolusi. Ini adalah ujian kesabaran publik. Berapa lama lagi masyarakat Bima harus menyaksikan sandiwara seorang gladiator yang kalah namun menolak meninggalkan arena? Seorang aktor yang lupa dialognya, merusak properti panggung, namun bersikeras pertunjukan harus terus berlanjut dengan dirinya sebagai bintang utama.

“Ini adalah sebuah patologi politik,” sindir Bung Ipull, seorang pengamat etika publik yang mulai lelah mengomentari kasus ini. “Kita menyaksikan seseorang yang lebih memilih menjadi bahan tertawaan sejarah daripada menjadi contoh kesatria. Ia tidak lagi duduk di kursi DPRD, ia bersembunyi di baliknya. Kursi itu telah menjadi tameng dari rasa malu, benteng terakhir dari akal sehat yang terus menggedor dari luar.”

Sikap Nurdin mengirimkan pesan yang mengerikan kepada generasi mendatang: “Di Bima, Anda bisa menghancurkan fasilitas negara di forum terhormat, meludahi wajah konstituen Anda secara simbolis, dan keesokan harinya kembali bekerja seolah-olah Anda baru saja memenangkan medali.”

PKB: Partai Penaung atau Sanggar Pelestarian Politisi Antik?

Di tengah badai ini, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tampak sedang menikmati secangkir teh dalam keheningan yang memekakkan. Sikap diam mereka bukan lagi sebuah strategi, melainkan sebuah restu pasif. Dengan tidak memecat atau memaksa Nurdin mundur, PKB seolah sedang berkata, “Kader kami memang temperamental, tapi kursinya lebih penting dari reputasi kami.”

Partai yang semestinya menjadi penjaga moralitas kadernya, kini justru menjadi juru kunci dari museum arogansi Nurdin. Publik tidak lagi bertanya apakah PKB akan bertindak; publik kini bertanya, apakah PKB adalah partai politik atau sebuah sanggar pelestarian politisi antik yang sudah tidak relevan dengan zaman?

Maka, panggung ini sekarang tertuju pada satu orang. Bukan lagi sebagai “Yang Terhormat,” tetapi sebagai Nurdin. Sejarah Bima sedang menulis babnya saat ini, dan pena ada di tangan Anda. Apakah Anda akan mengakhirinya dengan sebuah titik terhormat melalui pengunduran diri, atau dengan tanda seru memalukan yang akan terus terngiang sebagai lelucon politik paling getir?

Pilihan ada di tangan Anda, Tuan Nurdin. Tapi jangan terlalu lama. Sebab setiap detik Anda bertahan, kursi yang Anda duduki itu tidak membuat Anda terlihat kuat. Ia hanya semakin jelas menunjukkan betapa kosongnya jiwa kenegarawanan di dalamnya. Mundurlah, sebelum rakyat yang menarik kursi itu dari bawah Anda.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *