Bima, 8 Agustus 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Di tengah proses hukum yang menjeratnya, Zunaidin, seorang warga Kabupaten Bima, menyampaikan permohonan kepada publik, khususnya kepada Ibu Mahdalena dan Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda NTB. Meskipun telah mengakui kesalahannya dan menyampaikan permintaan maaf secara tulus, Zunaidin kini berharap adanya kebijaksanaan dalam penanganan kasusnya, dengan mempertimbangkan kondisi sulit yang dihadapinya.
Tanggung Jawab Moral dan Konsekuensi Hukum
Zunaidin secara terbuka mengakui bahwa permohonan maaf yang telah ia sampaikan adalah wujud tanggung jawab moralnya sebagai individu. “Permintaan maaf tersebut adalah bentuk tanggung jawab moral saya sebagai manusia, sebuah langkah yang saya ambil dengan kesadaran penuh dan ketulusan hati,” ujarnya.
Namun, ia juga menunjukkan pemahaman yang mendalam bahwa permintaan maaf tidak secara otomatis menghentikan proses hukum. Kesadaran ini dibuktikan dengan diterimanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari Dirkrimsus Polda NTB. Ia diduga telah melanggar Pasal 27A Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang membawa ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (4).
“Saya menyadari bahwa perbuatan saya diduga melanggar hukum. Dengan segala kerendahan hati, saya menyatakan kesiapan dan kesediaan saya untuk bertanggung jawab secara hukum atas apa yang telah saya lakukan,” tegas Zunaidin, menunjukkan sikap ksatria dan kepatuhannya terhadap supremasi hukum.
Permohonan Keadilan yang Manusiawi
Di sinilah inti dari permohonan Zunaidin terletak. Dengan posisinya yang berada di Kabupaten Bima, ia menghadapi kendala serius untuk mengikuti proses hukum yang terpusat di Mataram. Kendala tersebut tidak hanya bersifat geografis, tetapi juga menyangkut kondisi ekonomi dan psikologis yang diakuinya sangat memberatkan.
“Saya memohon kebijaksanaan dari pihak Polda NTB agar proses hukum ini dapat dialihkan ke wilayah hukum Polres Bima Kabupaten. Atau setidak-tidaknya, saya tidak dipersulit dalam menjalankan kewajiban untuk hadir di Polda NTB,” pintanya.
Permohonan ini bukanlah upaya untuk mangkir dari tanggung jawab. Sebaliknya, ini adalah sebuah itikad baik untuk memastikan ia dapat bersikap kooperatif tanpa harus terbebani oleh kesulitan yang berada di luar kendalinya. Ia khawatir jika tidak dapat hadir di Mataram karena kendala tersebut, ia justru akan dianggap tidak kooperatif.
Sebagai solusi, ia mengusulkan agar pemeriksaan terhadap dirinya dapat dilaksanakan di wilayah Bima. “Permohonan ini saya ajukan karena saya khawatir ketidakhadiran saya di Mataram nantinya akan dianggap sebagai sikap tidak kooperatif, padahal saya sangat menghormati proses hukum yang sedang berjalan,” jelasnya.
Harapan pada Penegakan Hukum yang Humanis
Sikap Zunaidin mencerminkan dilema yang sering dihadapi oleh masyarakat kecil ketika berhadapan dengan sistem hukum. Di satu sisi, ada kesadaran untuk taat pada hukum, namun di sisi lain, terdapat keterbatasan praktis yang dapat menghalangi akses terhadap keadilan itu sendiri.
Dengan menempatkan permohonannya dalam kerangka “asas keadilan yang manusiawi”, Zunaidin tidak meminta untuk dibebaskan, melainkan meminta agar proses penegakan hukum mempertimbangkan realitas kemanusiaannya. Ia berharap permohonannya dapat menjadi jembatan antara penegakan hukum yang tegas dan pendekatan yang bijaksana.
“Saya berharap permohonan ini dapat dipertimbangkan secara bijak. Semoga langkah ini menjadi awal dari pembelajaran dan perbaikan yang lebih baik ke depan,” tutupnya penuh harap.
Kini, bola berada di tangan pihak berwenang untuk menanggapi permohonan warga yang telah menunjukkan itikad baik untuk bertanggung jawab, seraya memohon agar keadilan tetap dapat diakses tanpa harus mengorbankan aspek kemanusiaan.




















