Aset Intelektual yang Terlantar: Bupati Bima Ady Mahyudi, Didesak Buka Mata Atas Nasib Mahasiswa Bima di Makassar

Bima, 28 Agustus 2025 || Kawah NTB – Di tengah gemerlapnya kota metropolitan Makassar, sebuah ironi menyayat hati tersembunyi di sudut-sudut kusam kehidupan mahasiswa asal Bima. Ketika Bupati Bima, Ady Mahyudi, mungkin sedang menikmati secangkir kopi hangat di rumahnya yang megah, para calon intelektual daerahnya justru berjuang dalam keprihatinan yang seolah tak pernah dilirik oleh sang “pemimpin”.

Suara lantang datang dari Imam Muhajir SH MH, seorang putra Bima yang kini tengah menempuh studi doktoral (S3) di Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, Makassar. Baginya, penderitaan ini bukanlah cerita baru, melainkan sebuah epik penelantaran yang ia alami sendiri sejak S1 hingga kini.

“Kami di sini seperti anak tiri di negeri seberang. Pemerintah Daerah Kabupaten Bima, di bawah kepemimpinan Bapak Ady Mahyudi, tampaknya memiliki penglihatan yang begitu selektif. Visi-misi pembangunan mungkin terlalu agung hingga tak mampu melihat kami yang berdesakan di asrama yang lebih mirip kandang sapi,” ujar Imam dengan nada sinis.

Kritik tajam ini bukanlah isapan jempol belaka. Kondisi asrama Bima di Makassar disebut-sebut jauh dari kata layak, sebuah aset daerah yang terbengkalai dan menjadi monumen bisu atas ketidakpedulian pemerintah. Menurut penuturan banyak mahasiswa, bangunan itu lebih cocok menjadi cagar budaya era keterbelakangan daripada tempat bernaungnya para agen perubahan masa depan.

 

Beasiswa “Golden Ticket” untuk Anak Pejabat

Lebih menyakitkan lagi adalah isu mengenai beasiswa. Imam Muhajir menyoroti sebuah praktik yang menurutnya sudah menjadi rahasia umum. Beasiswa yang seharusnya menjadi hak bagi mahasiswa berprestasi dan mereka yang datang dari keluarga kurang mampu, diduga kuat telah “diamankan” oleh mereka yang memiliki “golden ticket”: anak-anak para pejabat.

“Teori keadilan sosial yang kami pelajari di bangku kuliah seolah menjadi lelucon ketika kami melihat realitas di kampung halaman. Beasiswa seakan menjadi dana hibah keluarga bagi para elite. Sementara kami, yang berjuang dengan keringat dan keterbatasan, hanya bisa menelan ludah dan berharap pada keajaiban,” ungkapnya.

Fenomena ini, lanjutnya, menciptakan sebuah jurang pemisah dan membunuh semangat kompetisi yang sehat. Mahasiswa-mahasiswa potensial dari kalangan biasa dipaksa untuk berjuang dua kali lebih keras: berjuang untuk akademis dan berjuang melawan sistem yang tampaknya lebih memihak pada koneksi daripada prestasi.

 

Bupati Sibuk Apa?

Sebagai seorang mahasiswa yang dididik untuk berpikir kritis, Imam Muhajir mempertanyakan fokus dan prioritas Bupati Ady Mahyudi. Menurutnya, seorang pemimpin seharusnya memiliki “mata” di setiap jengkal wilayah yang menjadi tanggung jawabnya, termasuk di mana putra-putri daerahnya menimba ilmu.

“Kami tidak meminta istana, kami hanya meminta perhatian yang manusiawi. Perawatan asrama dan transparansi beasiswa adalah dua hal kecil yang menjadi cerminan besar dari tata kelola pemerintahan. Jika hal mendasar seperti ini saja diabaikan, bagaimana kami bisa percaya pada janji-janji pembangunan yang lebih besar?” tanyanya retoris.

Ketiadaan lembaga persatuan mahasiswa Bima yang solid di Makassar disebut-sebut memperparah keadaan, membuat suara mereka tercerai-berai dan mudah untuk diabaikan. Namun, suara-suara perlawanan seperti yang diserukan oleh Imam Muhajir menandakan bahwa kesabaran kaum intelektual muda ini sudah berada di titik nadir.

Para mahasiswa Bima di Makassar kini menanti, bukan lagi dengan harapan kosong, melainkan dengan tuntutan yang jelas: “Lihat kami, Bapak Bupati. Kami adalah aset, bukan sekadar angka dalam data statistik kependudukan yang terlupakan.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *