Bima, 16 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) Ntb – Luka menganga di kepala Sahrul Ajwari bukan sekadar bukti kekerasan fisik ia adalah manifestasi paling telanjang dari sistem hukum yang kian membusuk di sudut-sudut republik. Video yang merekam detik-detik tubuh Sahrul tergeletak di samping motornya, darah mengalir deras dari kepalanya, seharusnya cukup mengguncang nurani publik dan menggugah aparat penegak hukum. Tapi hingga hari ini, 16 Juli 2025, kasus kematian itu tetap stagnan. Tak ada penetapan tersangka. Tak ada SPDP. Tak ada perkembangan. Yang ada hanyalah pembungkaman, pengabaian, dan sunyi yang mencekik.
Secara yuridis, bukti telah terang benderang. Visum et repertum tersedia. Keterangan saksi kunci berinisial R yang menyaksikan langsung peristiwa juga telah diberikan. Berdasarkan Pasal 183 KUHAP dan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, dua alat bukti itu sudah cukup untuk menetapkan tersangka. Namun penyidik Sat Reskrim Polres Bima lebih memilih diam, seolah fakta hukum hanya bernilai jika didorong oleh tekanan kekuasaan.
Media Kawah NTB menilai lambannya penanganan ini bukan sekadar kelalaian administratif. Ini adalah bentuk ketimpangan struktural dalam penegakan hukum ketika korban berasal dari lapisan rakyat biasa, hukum menjadi lemah, lamban, dan tak bernyawa. Sahrul bukan anak tokoh, bukan bagian dari elit, bukan figur dengan pengaruh politik. Ia adalah remaja biasa. Tapi justru di situlah ketelanjangan sistem hukum kita terpampang: hanya cepat untuk yang punya nama, dan lumpuh untuk mereka yang tak dianggap penting.
Ketika hukum bergantung pada kasta sosial, maka kematian seperti Sahrul Ajwari bukan lagi insiden, melainkan produk dari sistem yang gagal melindungi kehidupan. Media Kawah NTB menegaskan bahwa stagnasi ini bukanlah sekadar kelambanan teknis, tetapi pembiaran yang disengaja, diskriminatif, dan mencederai rasa keadilan publik.
Jika kasus ini terus dibiarkan tenggelam dalam kesenyapan, maka yang mati bukan hanya Sahrul, tapi juga harapan masyarakat terhadap hukum yang berpihak, adil, dan manusiawi. Kami takkan berhenti bersuara. Karena kematian yang tak dituntut adalah awal dari kekuasaan yang tak terbatas atas hidup orang biasa.








































