Bima, 20 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Setelah mengulas bagaimana Kejari Raba Bima diduga kuat tunduk pada patronase kekuasaan dalam penanganan kasus M alias O, kini Bung Mhikel dari LBHPRI melanjutkan analisisnya dengan menyoroti dampak sistemik dari pilihan hukum yang terdistorsi: hilangnya kepercayaan publik dan munculnya krisis legitimasi institusi.
“Saat aparat penegak hukum memilih diam terhadap fakta yang terang, publik tidak akan tinggal diam terhadap hukum yang kabur,” tegasnya.
Menurut Bung Mhikel, yang menjadi fokus bukan lagi pada apakah M alias O bersalah atau tidak tapi bagaimana sistem hukum menyikapi keterlibatan yang identik dengan para tersangka lain. Ketika penyertaan dalam dokumen yang sama tidak dibarengi dengan status hukum yang setara, maka asas persamaan di hadapan hukum telah dilanggar secara terang-terangan.
“Ini bukan sekadar cacat prosedural,” kata Bung Mhikel. “Ini adalah titik kritis dalam relasi antara negara dan warga. Ketika penegak hukum mulai beroperasi berdasarkan kalkulasi politik, rakyat belajar bahwa keadilan bukan hak, tapi privilese.”
Ia menyebut fenomena ini sebagai “institutional collapse in disguise” kejatuhan lembaga dalam bentuk yang tidak spektakuler, tapi sangat merusak. Hukum tetap ada di atas kertas, tapi jiwanya ditukar dengan kompromi.
Menurut Bung Mhikel, jika mekanisme hukum terus menghindar dari transparansi dan keberanian, maka rakyat tidak akan menyerah, tapi akan mulai mengorganisir perlawanan sipil. Kejaksaan tidak hanya mempertaruhkan reputasinya, tapi menggoyang kepercayaan konstitusional yang lebih dalam.
Dengan eskalasi pengaduan ke Jaksa Muda Pengawasan (Jamwas), Bung Mhikel mengingatkan bahwa ini bukan sekadar laporan administratif. Ini adalah tuntutan publik atas kejujuran institusi.
“Masyarakat menunggu bukan hanya penangkapan, tapi pembuktian bahwa republik ini masih dijaga oleh mereka yang bersumpah atas nama keadilan,” ujarnya.
Jika M alias O tetap melenggang tanpa proses hukum, maka satu sistem telah diterabas. Dan Bung Mhikel menyebutnya dengan jelas: ‘Keadilan yang bisa dinegosiasikan adalah bentuk korupsi tertinggi’.”






































