BIMA, 19 Agustus 2025 || Kawah NTB – Kasus dugaan perusakan fasilitas negara yang dilakukan oleh anggota DPRD Kabupaten Bima dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Nurdin, memasuki babak krusial. Desakan publik agar Nurdin segera dipecat dari jabatannya kian menguat, bukan hanya karena ia melanggar hukum, tetapi juga karena tindakannya dinilai telah mencoreng kehormatan lembaga legislatif dan martabat partai yang menaunginya.
Kerusakan Moral dan Simbol Negara
Aksi Nurdin yang merusak meja di salah satu fasilitas pemerintah tidak bisa hanya dianggap sebagai tindak pidana biasa. Perbuatan ini memiliki makna simbolis yang jauh lebih dalam. Meja yang ia rusak adalah properti negara, dibeli dengan uang rakyat, dan merepresentasikan institusi negara serta amanah yang dipercayakan oleh publik. Ketika seorang wakil rakyat merusak simbol-simbol tersebut, ia secara terang-terangan menunjukkan ketidakmampuannya dalam menjaga etika dan mengendalikan diri. Perilaku ini bukan hanya pelanggaran hukum, melainkan juga sebuah kerusakan moral.
“Seorang wakil rakyat adalah panutan. Tugasnya adalah menegakkan aturan, bukan justru melanggarnya dengan tindakan destruktif. Perilaku seperti ini secara etis dan moral telah mendelegitimasi statusnya sebagai pejabat publik,” ujar seorang akademisi hukum tata negara.
Nurdin telah memberikan contoh buruk yang mengikis kepercayaan masyarakat terhadap wakilnya. Tindakannya seolah menegaskan bahwa kekuasaan dan jabatan bisa menjadi perisai untuk bertindak di atas hukum, sebuah narasi yang sangat berbahaya bagi demokrasi.
Ujian Integritas PKB
Di tengah polemik ini, sorotan tajam mengarah pada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Hingga saat ini, keheningan dari pimpinan partai, baik di tingkat DPC maupun DPP, menimbulkan pertanyaan besar. Sikap ini diartikan sebagai keragu-raguan untuk mengambil tindakan tegas terhadap kadernya sendiri. Publik menuntut PKB untuk menunjukkan integritas dan ketegasan dalam menanggapi kasus ini.
Keputusan yang diambil oleh PKB akan menjadi cerminan seberapa serius partai ini menjaga standar etika para kadernya. Membiarkan Nurdin tetap menjabat, meskipun proses hukumnya berjalan, akan dianggap sebagai bentuk toleransi terhadap arogansi dan premanisme politik.
Sanksi tegas, seperti Pergantian Antar Waktu (PAW), dinilai sebagai langkah paling rasional dan mendesak. Pemecatan Nurdin adalah satu-satunya cara bagi PKB untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar peduli terhadap martabat dan citra partai di mata publik. Kegagalan PKB untuk bertindak tegas akan merusak reputasi mereka sebagai partai yang menjunjung tinggi etika dan integritas.
Kasus Nurdin kini menjadi ujian krusial yang menentukan, tidak hanya bagi individu yang bersangkutan, tetapi juga bagi institusi DPRD dan PKB secara keseluruhan. Sikap yang diambil oleh PKB akan menjadi pesan penting: apakah partai ini berani membuang “oknum” yang merusak citra, atau justru memilih untuk melindungi “kader” yang telah memberikan contoh buruk bagi rakyat yang seharusnya mereka layani.






































