BIMA, 26 Agustus 2025 || Kawah NTB – Polemik pembalakan liar kayu Sonokeling di kawasan Sambina’e, Kecamatan Mpunda, Kota Bima, memasuki babak baru yang lebih menohok nalar publik. Di tengah desakan untuk menindak tegas para mafia, muncul sebuah jawaban institusional dari Kepala BKPH Maria Donggomasa, Ahyar, yang bukan hanya gagal meredam amarah, tetapi justru menjadi bensin yang membakar habis sisa kepercayaan publik: “Tidak Ada Biaya Penyitaan.”
Pernyataan ini, dalam konteks penegakan hukum terhadap kejahatan ekologis bernilai miliaran rupiah, bukan lagi sekadar alasan, melainkan sebuah deklarasi kelumpuhan negara yang patut dipertanyakan motifnya.
Sebuah Pertanyaan Fundamental untuk Gubernur NTB: Kurang Ajar atau Memang Tak Berdaya?
Sebuah pertanyaan fundamental kini menggema di ruang publik NTB, ditujukan langsung kepada Gubernur dan Kepala Dinas LHK NTB: Apakah tidak terlampau arogan dan kurang ajar seorang Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) selevel Kepala BKPH berani menyatakan negara takluk pada kejahatan karena alasan ‘anggaran’?
Apakah APBD Provinsi NTB dan alokasi dana untuk Dinas LHK sedemikian rapuhnya sehingga tidak mampu membiayai beberapa truk dan personel untuk mengamankan barang bukti kejahatan yang merugikan negara dan lingkungan secara masif? Jika seorang jenderal menyatakan kalah perang karena peluru mahal, ia akan diadili di mahkamah militer. Lantas, hukuman apa yang pantas bagi seorang ‘panglima hutan’ yang membiarkan jarahan lolos dengan dalih dompet kosong?
Ini adalah preseden berbahaya yang mengirimkan sinyal kepada seluruh penjahat di NTB: Lakukan saja kejahatan dalam skala besar, maka negara akan angkat tangan karena “biaya penindakannya tidak ada.”
Matinya Koordinasi Vertikal dan Horizontal: Sengaja Dibuat Lumpuh?
Alasan ‘tak ada biaya’ runtuh seketika saat dihadapkan pada konsep sederhana bernama koordinasi.
Koordinasi Vertikal: Apakah Ahyar, selaku bawahan, telah secara resmi melapor dan mengajukan permohonan dana darurat kepada Kepala Dinas LHK NTB mengenai ketiadaan anggaran ini? Jika sudah, di mana responsnya? Jika belum, maka dalihnya adalah kebohongan publik.
Koordinasi Horizontal: Apakah BKPH hidup di ruang hampa? Di mana sinergi dengan Aparat Penegak Hukum lain seperti Polres Bima Kota, Kodim 1608/Bima, atau bahkan Satpol PP yang memiliki sumber daya angkut? Apakah biaya koordinasi antar-lembaga negara juga tidak dianggarkan?
Sangat tidak masuk akal jika sebuah institusi resmi memilih diam dan membiarkan barang bukti kejahatan membusuk di TKP, alih-alih mengaktifkan jaringan birokrasi yang ada. Kelumpuhan ini terlihat seperti sengaja dirancang, bukan sebuah ketidakmampuan.
Jika Biaya Angkut Nihil, Berapa ‘Biaya Tutup Mata’ yang Diterima?
Jika logika formal dan alur birokrasi gagal menjelaskan kelumpuhan Ahyar dan jajarannya, maka publik terpaksa beralih pada logika informal yang seringkali lebih jujur: logika transaksional.
Pertanyaannya menjadi sangat sederhana dan brutal: Jika ‘biaya angkut’ benar-benar tidak ada, lantas berapa sesungguhnya ‘biaya tutup mata’ yang disediakan oleh para cukong Sonokeling di Sambina’e sehingga membuat dalih sekonyol ini berani diucapkan ke publik?
Angka ini yang harus diungkap, karena tampaknya ‘biaya tutup mata’ tersebut jauh lebih efektif dan nyata daripada alokasi anggaran resmi dari negara.
Ultimatum Publik: Negara Tidak Dijual, Pecat dan Penjarakan Ahyar!
Publik tidak lagi membutuhkan klarifikasi berbelit-belit. Jawaban atas kejanggalan ini sudah lebih terang dari matahari. Oleh karena itu, desakan kepada Gubernur NTB dan aparat penegak hukum tidak bisa ditawar lagi:
PECAT DAN PENJARAKAN AHYAR!
Seret oknum ini ke meja pemeriksaan. Audit seluruh aliran dananya dan bongkar jaringannya. Tindakan tegas ini bukan hanya untuk menghukum satu orang, tetapi untuk mengirimkan pesan yang jelas: Hutan Bima tidak untuk dijual, kehormatan negara tidak bisa digadai, dan pejabat yang menjadi bodyguard cukong adalah musuh negara yang tempatnya di balik jeruji besi.






































