BIMA, 4 Oktober 2025 || Kawah NTB – Bola salju kasus korupsi dana KUR BNI senilai Rp 39 Miliar kini berubah menjadi bola api yang mengarah langsung ke wajah Tipidkor Polres Bima Kota. Setelah membiarkan seorang tersangka korupsi aktif mengelola anggaran pendidikan, kini aparat penegak hukum tersebut dituding telah melakukan “pembegalan hukum” dengan menggantung status sembilan tersangka tanpa kepastian.
Menyikapi hal ini, Bung Mhikel dari Lembaga Bantuan Hukum Peduli Rakyat Indonesia (LBH-PRI) mengeluarkan analisis hukum yang lebih pedas, menelanjangi apa yang disebutnya sebagai permainan hukum berbahaya oleh aparat.
“Tipidkor Polres Bima Kota jangan bermain-main dengan status hukum sembilan orang. Menetapkan seseorang sebagai tersangka lalu membiarkannya terkatung-katung tanpa proses yang jelas adalah bentuk kezaliman dan mencederai prinsip fundamental negara hukum,” tegas Bung Mhikel.
Menurutnya, tindakan ini secara terang-terangan melanggar esensi dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menjamin hak atas kepastian hukum dan proses yang cepat.
“KUHAP tidak mengenal status tersangka seumur hidup. Ada batas waktu dan prosedur yang harus ditaati. Jika penetapan tersangka sejak 22 April 2025 hingga hari ini tanggal 4 Oktober 2025 tidak kunjung dilimpahkan, maka ini bukan lagi proses hukum, melainkan penyanderaan status hukum. Seharusnya, jika jangka waktu penanganan perkara telah terlampaui atau kadaluwarsa tanpa kemajuan signifikan, demi hukum status tersangka itu gugur!” jelasnya.
Bung Mhikel memaparkan dua pilihan logis yang seharusnya diambil oleh Polres Bima Kota jika mereka memang profesional dan berintegritas:
Jika Bukti Kuat, Segera Proses! “Apabila memang bukti perbuatan melawan hukum dan kerugian negara itu sah dan meyakinkan, mengapa tidak segera dilimpahkan? Percepat prosesnya agar kesembilan orang ini diadili dan memperoleh kepastian hukum atas perbuatannya. Jangan biarkan mereka menjadi zombie hukum, bukan terpidana tapi juga bukan orang bebas,” tantang Mhikel.
Jika Proses Mandek, Bebaskan! “Sebaliknya, jika proses ini mandek karena bukti yang lemah atau alasan lain, maka Polres Bima Kota harus jantan. Demi tegaknya hukum dan HAM, mereka harus mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Bebaskan kesembilan orang itu demi hukum (vrijspraak) dan pulihkan nama baik mereka yang telah tercoreng oleh status tersangka yang digantung,” ujarnya.
Kasus PLT Kepala Sekolah SMAN 1 Woha yang masih leluasa mengelola dana BOS dan anggaran lainnya, menurut Mhikel, adalah produk paling nyata dari kegagalan Polres Bima Kota dalam memberikan kepastian hukum.
“Ini adalah anomali paling memalukan. Di satu sisi statusnya tersangka, tapi di sisi lain negara melalui Pemprov NTB memberinya wewenang mengelola uang rakyat. Kekacauan ini terjadi karena aparat penegak hukumnya sendiri tidak memberikan kejelasan akhir dari proses yang mereka mulai,” pungkasnya.
LBH-PRI dengan ini mendesak Kapolres Bima Kota untuk tidak lagi bersembunyi di balik alasan prosedural. Publik menuntut pilihan yang tegas, lanjutkan ke pengadilan atau hentikan penyidikan. Membiarkan situasi ini berlarut-larut hanya akan semakin menggerus kepercayaan publik dan membuktikan bahwa penegakan hukum di Bima memang telah mati suri.