BIMA, 4 Oktober 2025 || Kawah NTB – Kesepakatan damai yang difasilitasi Pemerintah Kabupaten Bima dalam kasus amputasi tangan balita Arumi Aghnia Azkayra, yang berujung pada penghentian penyelidikan oleh Polres Bima, bukanlah sebuah kemenangan kemanusiaan. Sebaliknya, ini adalah sebuah tragedi hukum yang dipertontonkan secara telanjang, di mana keadilan prosedural dikorbankan di atas altar kesepakatan transaksional.
Menanggapi hal ini, Bung Guntur, Konsultan Hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Peduli Rakyat Indonesia (LBH-PRI), mengeluarkan pernyataan keras. Bung Guntur sendiri dikenal publik sebagai salah satu figur yang paling konsisten memperjuangkan keadilan bagi Arumi sejak kasus ini pertama kali mencuat, tak henti menyuarakannya melalui akun Facebook pribadinya. Menurutnya, penghentian kasus ini adalah langkah prematur yang secara fundamental cacat, baik secara moral maupun hukum.
“Mari kita sebut ini dengan nama yang sebenarnya: ini bukan perdamaian, ini adalah pembungkaman terstruktur,” tegas Bung Guntur. “Ketika sebuah keluarga korban yang berada dalam posisi lemah dihadapkan dengan kekuatan kolektif pemerintah daerah mulai dari Wakil Bupati hingga jajaran dinas nlalu menandatangani kesepakatan, dimana letak kesetaraan posisinya? Ini bukan negosiasi, ini adalah penyerahan hak untuk menuntut keadilan di bawah tekanan.”
Bung Guntur menyoroti kejanggalan fatal dalam keputusan Polres Bima yang menghentikan penyelidikan hanya berlandaskan pencabutan laporan dan surat damai.
“Kesalahan terbesar aparat penegak hukum di sini adalah mengabaikan esensi dari kasus ini. Ini bukan delik aduan biasa, ini menyangkut dugaan malapraktik medis yang menghilangkan organ tubuh seorang anak. Seharusnya, sebelum mengambil kesimpulan apapun, polisi wajib menunggu hasil pemeriksaan atau rekomendasi dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI),” jelasnya.
Menurutnya, MKDKI adalah satu-satunya lembaga yang berwenang menilai apakah ada pelanggaran disiplin dan etika profesi oleh tenaga medis. Tanpa putusan dari majelis ini, penghentian penyelidikan adalah tindakan gegabah.
“Bagaimana bisa polisi menyimpulkan tidak ada unsur pidana jika lembaga ahli yang berwenang menguji ada atau tidaknya malapraktik saja belum memberikan pendapat? Ini cacat prosedur yang sangat serius. Polisi seolah-olah bertindak sebagai ahli medis sekaligus hakim yang memutuskan kasus ini selesai tanpa melalui proses yang semestinya,” papar Bung Guntur.
LBH-PRI juga mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bima untuk tidak tinggal diam dan segera menggunakan fungsi pengawasannya.
“DPRD harus memanggil semua pihak terkait, termasuk Pemkab dan Polres Bima. Mereka harus mempertanyakan dasar penghentian penyelidikan ini. Jika DPRD Bima diam, artinya mereka merestui praktik di mana penderitaan seorang anak bisa diselesaikan hanya dengan ‘tali asih’ tanpa membuktikan ada atau tidaknya kesalahan fatal dalam pelayanan publik,” ujarnya.
Pada akhirnya, kasus Arumi kini telah menjadi preseden buruk yang sangat berbahaya. Ia mengirimkan pesan mengerikan kepada masyarakat Bima: bahwa nyawa dan anggota tubuhmu bisa dinegosiasikan harganya, dan akuntabilitas medis bisa dibungkam dengan kesepakatan di ruang tertutup.
“Perjuangan ini belum usai. Penghentian penyelidikan ini bukan akhir dari kasus, ini adalah awal dari matinya kepercayaan publik terhadap sistem kesehatan dan penegakan hukum di Bima,” pungkas Bung Guntur.