GELAR PROFESOR, NAFSU PREDATOR: Bongkar Chat Mesum Rektor UNM yang Menjerat Dosennya Sendiri

MAKASSAR, 24 Agustus 2025 || Kawah NTB – Kasus dugaan kekerasan seksual berbasis elektronik yang menyeret Rektor Universitas Negeri Makassar (UNM), Prof. Karta Jayadi, bukanlah sekadar skandal amoral, melainkan manifestasi brutal dari predatorisme akademik yang berakar pada kekuasaan. Lembaga Bantuan Hukum Peduli Rakyat Indonesia (LBH-PRI) mengutuk keras perbuatan ini dan menuntut tindakan hukum serta sanksi institusional yang paling berat.

“Ini bukan lagi soal pelanggaran etika, ini adalah kejahatan. Ketika seorang pemimpin akademik dengan gelar tertinggi menggunakan posisinya untuk meneror dan melecehkan bawahannya, ia telah meruntuhkan pilar moralitas dan intelektualitas yang seharusnya ia jaga,” tegas Imam Muhajir, SH, MH, Direktur LBH-PRI, dalam pernyataan resminya.

 

Relasi Kuasa yang Menjadi Senjata

Dari perspektif kriminologi hukum, kasus ini adalah contoh klasik dari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang difasilitasi oleh struktur hierarkis institusi pendidikan. Prof. Kaje tidak bertindak sebagai individu biasa, ia bertindak sebagai Rektor, puncak kekuasaan di UNM.

Menurut Imam Muhajir, relasi kuasa antara Rektor dan seorang dosen adalah timpang secara absolut. “Korbannya, seorang dosen wanita, berada dalam posisi yang sangat rentan. Menolak berarti mempertaruhkan karier, jenjang kepangkatan, dan bahkan lingkungan kerjanya. Inilah yang disebut viktimisasi struktural. Pelaku tahu persis bahwa kekuasaannya memberikan ‘imunitas’ semu, membuatnya merasa berhak melakukan apa saja,” jelasnya.

Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dirancang justru untuk membongkar relasi kuasa toksik semacam ini. Tindakan mengirim konten porno dan ajakan seksual secara berulang adalah kekerasan seksual berbasis elektronik yang diatur dalam Pasal 14 UU TPKS.

“Penerapan hukum dalam kasus ini harus diperberat. Pasal 15 UU TPKS secara eksplisit menyebutkan pemberatan hukuman sepertiga bagi pelaku yang merupakan tenaga pendidik. Statusnya sebagai Rektor dan Guru Besar bukan lagi alasan untuk keringanan, melainkan dasar untuk pemberatan maksimal. Ia adalah ‘serigala berbulu domba’ di lingkungan yang seharusnya paling aman,” tambah Muhajir.

 

Tampilan Dominasi yang Gagal dan Primitif

LBH-PRI juga melihat perilaku terduga pelaku dari kacamata psikologi evolusioner untuk memahami akar dari tindakan predatoris ini, tanpa sedikit pun membenarkannya.

“Secara mendasar, tindakan ini dapat dilihat sebagai strategi kawin yang maladaptif dan primitif. Dalam banyak spesies, pejantan dengan status tinggi (alpha) menunjukkan dominasinya untuk mendapatkan akses kawin. Prof. Kaje, dalam posisinya sebagai Rektor, memegang status ‘alpha’ tertinggi di lingkungannya,” papar Imam Muhajir.

Namun, alih-alih menggunakan statusnya untuk kepemimpinan yang beradab, ia diduga menggunakannya untuk pemaksaan seksual. Pengiriman konten eksplisit secara terus-menerus, meskipun ditolak, adalah bentuk tampilan dominasi yang terdistorsi. Ini adalah sinyal primitif yang menyatakan, “Saya berkuasa, saya bisa melakukan ini, dan penolakanmu tidak relevan bagi saya.”

“Ini adalah tabrakan antara insting purba yang tidak terkendali dengan norma sosial, hukum, dan moralitas modern. Perilaku ini menunjukkan kegagalan total dalam kontrol impuls dan ketidakmampuan untuk berfungsi dalam masyarakat beradab yang menghargai persetujuan (consent). Ia mungkin seorang profesor secara intelektual, tetapi perilakunya mencerminkan insting predator yang tak terfilter,” tegasnya.

 

Nol Toleransi, Perlindungan Absolut Bagi Korban

Melihat brutalitas tindakan dan dampak destruktifnya, LBH-PRI menuntut langkah-langkah konkret dan tanpa kompromi:

Proses Pidana Tanpa Pandang Bulu: Aparat penegak hukum harus segera memproses laporan ini dengan menggunakan UU TPKS, menerapkan pasal pemberatan secara maksimal. Tidak boleh ada intervensi atau upaya untuk menyelesaikan kasus ini “secara kekeluargaan.”

Pecat, Copot, dan Cabut Gelar: Kemendikbudristek dan Satuan Tugas PPKS UNM tidak boleh ragu. Prof. Karta Jayadi harus segera dicopot dari jabatannya sebagai Rektor, dipecat secara tidak hormat sebagai tenaga pendidik (ASN/PNS), dan gelar guru besarnya wajib dicabut. Ini adalah satu-satunya cara untuk membersihkan nama institusi.

Perlindungan Absolut bagi Korban: LBH-PRI menuntut negara hadir untuk korban. Ini bukan hanya soal pendampingan psikologis, tetapi juga pemberian imunitas hukum penuh dari segala bentuk serangan balik, seperti laporan pencemaran nama baik. Korban telah menunjukkan keberanian luar biasa, dan negara wajib menjadi benteng pelindungnya. Setiap upaya untuk mengintimidasi atau menyudutkan korban adalah kejahatan kedua.

“Kasus ini adalah ujian bagi integritas UNM dan Kemendikbudristek. Jika seorang Rektor yang terbukti melakukan kekerasan seksual bisa lolos dengan sanksi ringan, maka kita secara resmi telah melegalkan budaya predator di kampus. Adagium ‘guru kencing berdiri, murid kencing berlari’ akan menjadi kenyataan pahit. Ini saatnya memotong kepala ular, bukan hanya mengelus ekornya,” tutup Imam Muhajir.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *