Bima, 19 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Sorotan tajam terhadap Kejaksaan Negeri Raba Bima dalam penanganan kasus korupsi dana Kredit Usaha Rakyat (KUR) BSI KC Bima Soetta 2 tak lagi sebatas pertanyaan, melainkan tuntutan akan integritas dan kepastian hukum. Setelah penetapan tiga tersangka yang dinilai selektif, kini publik menanti langkah progresif Kejaksaan untuk menepis keraguan dan membuktikan komitmennya memberantas korupsi tanpa pandang bulu. Kerugian negara yang mencapai lebih dari Rp9,5 miliar menuntut penanganan yang tuntas, bukan sekadar respons parsial.
Pernyataan keras Bung Mhikel dari Lembaga Bantuan Hukum Peduli Rakyat Indonesia (LBHPRI) sebelumnya, yang mengibaratkan Kejaksaan seperti “sarang laba-laba” yang hanya menjerat “ikan teri” dan membiarkan “ikan paus” bebas, bukan sekadar kritik. Ini adalah alarm serius atas potensi erosi kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum. Kasus ini menjadi ujian litmus bagi Kejaksaan Negeri Raba Bima: apakah mereka mampu berdiri tegak di atas asas persamaan di muka hukum atau tunduk pada tekanan dan kepentingan tertentu.
Fokus utama kini beralih pada M alias O, yang diketahui berstatus sebagai avalist namun luput dari jeratan hukum, berbeda dengan R alias B dan DA yang memiliki peran identik. Ketidakberadaan M alias O dalam daftar tersangka memicu spekulasi dan dugaan adanya “pemilihan” subjek hukum. Ini adalah anomali yang harus segera dijelaskan dan dikoreksi oleh Kejaksaan. Tanpa penjelasan yang memadai, tindakan ini akan terus menjadi noda yang mencoreng prinsip objektivitas penyidikan dan asas non-diskriminasi yang menjadi pondasi hukum acara pidana.
Kejaksaan Negeri Raba Bima memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk segera memperluas cakupan penyidikan dan menetapkan semua pihak yang terlibat secara aktif dalam skema korupsi ini. Diamnya institusi terhadap M alias O bukan hanya kelalaian prosedural, melainkan pelanggaran etika dan pengkhianatan terhadap semangat pemberantasan korupsi. Jika terbukti ada permainan di balik penetapan tersangka, maka ini membuka pintu bagi dugaan praktik kolusi yang lebih serius di tubuh penegak hukum.
Masyarakat Bima, dan Indonesia secara luas, tidak bisa menerima penegakan hukum yang “setengah hati”. Ini bukan sekadar persoalan satu kasus korupsi, melainkan tentang masa depan negara hukum itu sendiri. Jika hukum mulai “takut” kepada orang-orang tertentu, maka kita tidak lagi hidup dalam tatanan yang adil. Kejaksaan harus bergerak cepat, transparan, dan berani mengambil keputusan yang tegas untuk menunjukkan bahwa keadilan adalah milik semua, bukan milik yang dipilah dan dipilih. Tanpa langkah progresif ini, wibawa hukum akan terus dipertanyakan, dan preseden buruk ini akan menjadi warisan pahit bagi generasi mendatang.
Apakah Kejaksaan Negeri Raba Bima akan mampu membuktikan komitmennya untuk berlaku adil, ataukah mereka akan membiarkan kasus ini menjadi contoh kegagalan penegakan hukum yang selektif?






































