Hukum  

Korupsi KUR BSI Bima: Mengapa Kejari Bima Membiarkan M alias O Bisa Lolos Dari Hukum?

Bima, 19 Juli 2025 || Kanal Aspirasi dan Wacana Hukum (Kawah) NTB – Kasus korupsi dana Kredit Usaha Rakyat (KUR) BSI KC Bima Soetta 2 dengan kerugian negara fantastis lebih dari Rp9,5 miliar, bukan sekadar perkara pidana biasa. Di balik tabir penetapan tersangka yang “pilah pilih,” terkuak sebuah dinamika yang menuntut analisis lebih dalam, melampaui sekadar kacamata normatif.

Bung Mhikel, Divisi Non Litigasi Lembaga Bantuan Hukum Peduli Rakyat Indonesia (LBHPRI), menegaskan bahwa menggunakan lensa Economic Analysis of Law ala Richard A. Posner, kita dapat membongkar niat tersembunyi, atau setidaknya implikasi ekonomis, di balik keputusan Kejaksaan Negeri Raba Bima yang secara kontroversial mengesampingkan M alias O dari daftar tersangka. Ini bukan lagi soal kebetulan, melainkan potensi adanya kalkulasi rasionalitas biaya-manfaat dalam penegakan hukum itu sendiri.

Richard Posner mengajarkan kita bahwa hukum, pada hakikatnya, adalah sebuah instrumen untuk mencapai efisiensi alokasi sumber daya. Dalam konteks penegakan hukum pidana, ini berarti upaya meminimalisir biaya sosial dari kejahatan sekaligus mengoptimalkan penggunaan sumber daya penegak hukum. Namun, ketika prinsip ini terdistorsi, ia dapat menjadi pisau bermata dua yang membunuh keadilan.

Hipotesis Efisiensi Terselubung: Mengapa M alias O Dikecualikan?

Jika dilihat dari perspektif efisiensi murni, mengapa Kejaksaan “memilih” untuk tidak menjerat M alias O, meskipun perannya sebagai avalist identik dengan tersangka lain seperti R alias B dan DA? Beberapa hipotesis, yang membutuhkan penyelidikan lebih lanjut, dapat dikemukakan Bung Mhikel:

-Biaya Pembuktian yang Mahal (Cost of Proof): “Mungkinkah Kejaksaan menilai bahwa biaya untuk membangun kasus yang kuat terhadap M alias O jauh lebih tinggi dibandingkan potensi manfaat (pengembalian aset atau efek jera)?” tanya Bung Mhikel. “Apakah ada kompleksitas dalam membuktikan keterlibatannya secara pidana yang dinilai akan menguras sumber daya investigasi, waktu persidangan, dan anggaran yang lebih besar? Jika ini alasannya, maka ini adalah penundukan keadilan pada efisiensi prosedural, sebuah kompromi berbahaya.”

-Minimnya Manfaat Marginal (Marginal Benefit): “Apakah Kejaksaan beranggapan bahwa penambahan M alias O sebagai tersangka tidak akan signifikan menambah nilai pengembalian kerugian negara atau efek jera secara keseluruhan?” lanjut Bung Mhikel. “Jika target utama adalah pengembalian aset atau pemenuhan kuota penuntutan, dan M alias O dinilai memiliki aset yang tidak signifikan atau koneksi yang dapat mempersulit proses, maka pengecualiannya bisa jadi sebuah kalkulasi pragmatis yang mengabaikan keadilan substantif.”

-Penghematan Sumber Daya untuk Target yang Lebih “Menguntungkan”: “Spekulasi paling pahit adalah bahwa Kejaksaan secara strategis mengalihkan fokus dan sumber dayanya pada ‘target’ lain yang dianggap lebih ‘menguntungkan’ dari segi penuntutan,” tegas Bung Mhikel, “baik itu karena potensi pengembalian aset yang lebih besar, kemudahan pembuktian, atau bahkan motif politik tersembunyi. Ini adalah distorsi serius terhadap prioritas penegakan hukum, mengubah keadilan menjadi komoditas yang diperdagangkan.”

Implikasi Negatif: Ketika Efisiensi Menggerus Keadilan

Keputusan Kejaksaan untuk tidak menjerat M alias O, terlepas dari motif ekonomisnya, memiliki implikasi hukum dan sosial yang, menurut Bung Mhikel, bersifat militan dan progresif:

-Pelemahan Efek Deteren (Deterrent Effect): “Pengecualian ini secara fundamental melemahkan efek jera,” ujar Bung Mhikel. “Para pelaku kejahatan korupsi akan membaca sinyal bahwa keterlibatan mereka tidak selalu berujung pada konsekuensi hukum yang sama. Ini menciptakan celah dan mendorong impunitas.”

-Diskriminasi Terselubung dan Ketidakpastian Hukum: “Ini bukan lagi soal ketidakadilan kasat mata, melainkan diskriminasi yang terselubung dalam selimut ‘efisiensi’,” kata Bung Mhikel. “Masyarakat akan mempertanyakan: apakah ada tarif tertentu, atau kriteria non-hukum, yang menentukan siapa yang layak diproses dan siapa yang tidak? Ini menciptakan ketidakpastian hukum yang merusak fondasi negara hukum.”

-Biaya Sosial Jangka Panjang: “Meskipun mungkin ada penghematan biaya penegakan hukum dalam jangka pendek,” jelas Bung Mhikel, “biaya sosial jangka panjang dari ketidakpercayaan publik, menurunnya legitimasi institusi, dan pertumbuhan korupsi yang tak terkendali jauh lebih besar. Ini adalah inefisiensi sistemik yang merusak fondasi ekonomi dan sosial bangsa.”

“Kejaksaan Negeri Raba Bima harus sadar bahwa hukum bukan hanya tentang efisiensi prosedural semata, tetapi juga tentang keadilan substantif dan persamaan di hadapan hukum,” pungkas Bung Mhikel. “Membiarkan satu pelaku luput, sementara yang lain dijerat dengan peran identik, adalah bentuk inefisiensi moral yang tidak dapat ditoleransi. Publik menuntut tidak hanya penetapan tersangka, tetapi sebuah proses hukum yang transparan, akuntabel, dan bebas dari bias ekonomis yang merusak keadilan. Sarang laba-laba keadilan tidak boleh hanya menjerat serangga kecil sementara membiarkan laba-laba besar berkuasa.”

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *