BIMA, 26 Agustus 2025 || Kawah NTB – Sebuah pencerahan luar biasa akhirnya menyinari akal sehat publik Bima. Selama ini kita bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang oknum Polisi Kehutanan (Polhut) rendahan bernama Wahyoni bisa bertindak dengan arogansi seorang dewa, mendirikan “pengadilan hutan”, dan menodongkan senjata layaknya raja kecil tak tersentuh? Jawabannya, ternyata, lebih sederhana dan jauh lebih busuk dari yang kita bayangkan.
Ternyata kita salah. Wahyoni mungkin bukanlah predator utamanya. Berdasarkan informasi yang beredar di bawah permukaan, ia diduga kuat hanyalah seorang pion pemberani yang digerakkan oleh seorang Raja yang bersembunyi di balik tirai kekuasaan.
Ah, pantas saja! Sekarang semuanya menjadi masuk akal.
Revisi Biografi: Dari Preman Menjadi Prajurit Setia
Dengan informasi baru ini, kita harus segera merevisi narasi tentang Wahyoni. Maaf, kami telah keliru menilainya sebagai sekadar preman berseragam yang serakah. Ternyata, ia lebih mirip seorang prajurit garda depan yang loyal, yang menjalankan titah dari benteng kekuasaan yang lebih tinggi. Kebrutalannya di lereng Sangiang bukanlah inisiatif pribadi, melainkan sebuah standar operasional prosedur (SOP) dari kerajaan tak terlihat yang melindunginya.
Letusan senjata itu? Bukan gertakan pribadi, tapi gema dari perintah atasan. Uang perasan Rp25 juta itu? Mungkin bukan untuk “uang rokok”-nya sendiri, melainkan “upeti” yang harus disetorkan ke singgasana sang pelindung. Wahyoni, dalam skema ini, hanyalah seorang juru pungut di gerbang tol ilegal yang dibangun oleh kekuatan yang lebih besar. Ia adalah etalase, wajah seram yang dipajang di depan, sementara sang arsitek kejahatan menikmati hasilnya dari kejauhan.
Gubernur NTB Ditantang Naik Level: Berani Potong Rumput atau Cabut Akarnya?
Sebelumnya, tantangan publik kepada Gubernur NTB dan Kadis LHK sangat jelas: PECAT DAN PENJARAKAN WAHYONI! Namun, dengan terkuaknya dugaan adanya “Godfather” di balik layar, tantangan itu kini terasa seperti permintaan untuk sekadar memotong rumput liar.
Tentu, memecat Wahyoni itu mudah dan akan menjadi pertunjukan yang bagus untuk media. Ia bisa dijadikan “tumbal” atau korban persembahan untuk meredam amarah publik. Sang Raja di belakangnya akan aman, mencari pion baru, dan kerajaan akan terus berjalan seperti biasa.
Maka, tantangannya sekarang naik level. Wahai Bapak Gubernur, pertanyaan rakyat bukan lagi “Apakah Anda berani memecat Wahyoni?”, melainkan:
“Apakah Anda berani membongkar dan melawan sosok kuat yang menjadi bekingnya?”
Ini bukan lagi soal nasib seorang oknum Polhut. Ini adalah soal apakah Anda, sebagai pemimpin tertinggi di NTB, punya nyali untuk berhadapan dengan “hantu” yang memberi Wahyoni kekebalan. Memecat Wahyoni hanya akan membuktikan Anda berani pada pion. Hanya dengan menyeret sang Raja-nya ke pengadilan, Anda baru membuktikan bahwa Anda adalah Raja yang sesungguhnya di NTB.
Epilog untuk Sang Pion
Untuk Wahyoni, mungkin ada sedikit rasa kasihan. Ketika badai datang, pion adalah yang pertama kali dikorbankan untuk menyelamatkan Raja. Ia mungkin berpikir seragam dan bekingnya adalah baju zirah abadi. Ia lupa, dalam permainan kotor ini, loyalitas hanya sebatas setoran. Saat ia tak lagi berguna, ia akan dibuang.
Jadi, sementara kita menunggu drama pemecatan yang mungkin akan segera dipentaskan, mari kita alihkan sorot lampu utama. Jangan lagi fokus pada pion yang sudah terpojok. Arahkan semua lensa pada bayangan besar di belakangnya. Karena di sanalah penyakit sebenarnya bersarang.






































