BIMA, 17 Agustus 2025 || Kawah NTB – Publik harus berhenti memandang Kejaksaan Negeri (Kejari) Raba Bima dengan kacamata usang. Lupakan sejenak peran mereka sebagai penuntut umum dalam perang melawan narkoba. Dalam kasus bandar terbesar Nuriflidah alias NR, Kejari Raba Bima diduga kuat telah melakukan disrupsi, sebuah inovasi radikal: mengubah fungsi penuntutan menjadi sebuah butik layanan hukum eksklusif bagi para pelaku kejahatan.
Dalam model bisnis yang cemerlang ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak lagi berhadapan dengan terdakwa, melainkan diduga telah bersekongkol dan menjadi mitra strategis. Dan produk unggulan mereka? Tentu saja, P19 sebuah “senjata sakti” yang bukan untuk menjerat, melainkan untuk membebaskan.
Paket Layanan ‘Platinum P19’: Garansi Kebebasan dengan Syarat & Ketentuan Absurd
Apa yang terjadi pada kasus NR adalah sebuah masterclass dalam penyalahgunaan prosedur. P19 yang bolak-balik bukanlah sebuah kegagalan, melainkan fitur utama dari “Paket Layanan Platinum” yang ditawarkan kepada klien. Mari kita bedah Standard Operating Procedure-nya:
Menciptakan Ketergantungan: Dengan menolak berkas polisi menggunakan alasan yang secara hukum rapuh seperti menuntut pengakuan yang notabene merupakan hak ingkar tersangka JPU secara efektif melakukan hostile takeover terhadap kasus tersebut. Penyidik dibuat impoten, sementara nasib klien (NR) sepenuhnya berada dalam genggaman JPU.
Manajemen Waktu Penahanan: Tujuan utamanya bukanlah pembuktian, melainkan “manajemen tenggat waktu”. P19 yang diulang-ulang adalah strategi brilian untuk membakar habis masa tahanan 120 hari. Sebuah jam pasir yang sengaja dibalik berulang kali hingga waktunya habis dan sang klien pun bebas demi hukum. Sungguh sebuah layanan yang presisi.
Monetisasi Status Quo: Setelah bebas, status hukum NR dibiarkan dalam limbo sebuah masterpiece ketidakpastian hukum. Inilah produk akhir yang dijual: bukan kemenangan di sidang, tetapi jaminan bahwa sidang tidak akan pernah ada. Selama “iuran keanggotaan” dari sang bandar terus mengalir ke “mesin ATM”, kasus ini akan selamanya “hidup segan, mati tak mau”.
Sebuah Simfoni Kontradiksi Hukum yang Indah
Seorang akademisi hukum, sambil tersenyum kecut, berkomentar, “Secara teknis, ini brilian. Ada sebuah keindahan dalam paradoks ini. Bukti yang dianggap cukup kuat oleh hakim untuk memenjarakan seseorang selama empat bulan, secara magis menjadi tidak berharga di tangan jaksa. Ini bukan lagi soal logika hukum, ini adalah seni. Seni menegasikan keadilan.”
Pertanyaan fundamental dalam analisis hukum adalah, Cui bono? Siapa yang diuntungkan dari kekacauan logika ini? Jawabannya begitu telanjang: sang “klien” (NR) yang kembali ke perniagaan haramnya, dan sang “provider jasa hukum” (oknum JPU) yang menikmati aliran dana stabil. Hubungan mereka bukan lagi penegak hukum dan penjahat, melainkan telah berevolusi menjadi sebuah kemitraan bisnis yang saling menguntungkan.
Panggilan untuk Autopsi Yuridis, Bukan Sekadar Investigasi
Apa yang dipertontonkan oknum Kejari Raba Bima adalah dugaan persengkongkolan dan obstruction of justice dalam bentuknya yang paling elegan dan sinis. Mereka tidak hanya gagal menumpas kejahatan, mereka diduga kuat telah menjadi konsultan hukum bagi kejahatan itu sendiri.
Oleh karena itu, Satgas 53 Kejaksaan Agung tidak cukup hanya turun tangan. Yang dibutuhkan adalah sebuah autopsi yuridis total terhadap berkas perkara NR untuk membongkar setiap paragraf rekayasa dan setiap niat busuk yang terselip. Pertanyaannya bukan lagi apakah oknum jaksa ini nakal, tapi apakah Kejaksaan Agung punya nyali untuk membongkar “firma hukum bayangan” yang beroperasi di dalam tubuhnya sendiri?






































