BIMA, 18 Agustus 2025 || Kawah NTB – Kasus dugaan perusakan fasilitas negara yang menyeret nama Nurdin, anggota DPRD Kabupaten Bima dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), telah memasuki babak baru. Di luar proses hukum yang berjalan di kepolisian, kini mengemuka desakan publik yang kuat bahwa seorang pejabat yang merusak aset negara secara fundamental tidak layak menyandang status sebagai wakil rakyat.
Tindakan Nurdin dinilai tidak hanya sebagai pelanggaran hukum, tetapi juga sebagai preseden buruk yang mencoreng kehormatan lembaga legislatif dan memberikan contoh arogansi kekuasaan kepada masyarakat luas.
Tindakan Merusak Simbol Negara dan Preseden Buruk
Aksi perusakan meja di fasilitas pemerintah, yang merupakan aset negara, dipandang lebih dari sekadar tindak pidana ringan. Ketika dilakukan oleh seorang anggota dewan, tindakan tersebut memiliki makna simbolis yang merusak. Meja itu merepresentasikan institusi negara dan amanah yang diberikan rakyat.
Kalangan pengamat sosial dan politik menilai, perilaku destruktif tersebut secara terang-terangan menunjukkan ketidakmampuan seorang pejabat dalam mengelola emosi dan menghargai marwah institusi tempatnya bernaung. Hal ini menjadi contoh yang sangat buruk bagi masyarakat, seolah-olah kekuasaan dan jabatan bisa dijadikan tameng untuk bertindak di atas hukum.
“Seorang wakil rakyat adalah panutan. Tugasnya adalah membuat dan mengawasi jalannya aturan, bukan justru melanggarnya secara demonstratif. Tindakan seperti ini secara etis dan moral telah mendelegitimasi statusnya sebagai pejabat publik,” ujar seorang akademisi hukum tata negara.
Kelayakan Etis dan Moral Dipertanyakan
Inti dari desakan publik adalah pertanyaan mengenai kelayakan (fitness) Nurdin untuk tetap menjabat. Jabatan sebagai anggota dewan tidak hanya membutuhkan legitimasi politik melalui pemilu, tetapi juga menuntut standar integritas, etika, dan perilaku yang tinggi. Tindakan perusakan fasilitas negara secara langsung menyerang pilar-pilar kelayakan tersebut.
Publik kini menyoroti dua jalur pertanggungjawaban yang harus dihadapi Nurdin:
* Pertanggungjawaban Hukum: Proses pidana di kepolisian yang akan menentukan sanksi hukum atas perbuatannya.
* Pertanggungjawaban Politik dan Etis: Proses internal di partainya, PKB, melalui Badan Kehormatan Partai, yang akan menentukan sanksi politik dan nasibnya sebagai kader.
Sikap Partai Ditunggu Publik
Di tengah proses hukum yang berjalan, sikap Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menjadi sorotan utama. Keheningan pimpinan partai dari tingkat DPC hingga pusat dianggap sebagai sinyal yang membingungkan. Publik menantikan ketegasan partai untuk membuktikan bahwa mereka tidak mentolerir perilaku premanisme dan arogansi yang merusak citra politik.
Sanksi tegas, seperti Pergantian Antar Waktu (PAW), dinilai menjadi opsi yang paling rasional untuk menyelamatkan marwah partai dan menunjukkan kepada publik bahwa PKB serius dalam menjaga standar etika para kadernya.
Pada akhirnya, kasus ini menjadi ujian krusial, tidak hanya bagi Nurdin secara pribadi, tetapi juga bagi institusi DPRD dan PKB. Hasil dari proses hukum dan politik ini akan menjadi cerminan seberapa serius negara dan partai politik menyikapi tindakan kadernya yang telah memberikan contoh buruk dan merusak fasilitas yang dibiayai oleh uang rakyat.






































