BIMA, 18 Agustus 2025 || Kawah NTB – Setahun telah berlalu sejak insiden yang mencoreng muruah institusi Polisi Kehutanan (Polhut) terjadi di lereng Gunung Sangiang, Kecamatan Wera. Namun, bagi Hendra dan rekan-rekannya, peristiwa pada Agustus 2024 itu menyisakan luka dan ketakutan mendalam. Seorang oknum Polhut bernama Wahyoni alias Yonif, yang seharusnya menjadi garda terdepan pelestarian alam, justru diduga bertindak sebagai predator berseragam, memeras warga dengan ancaman dan intimidasi.
Kasus ini adalah potret busuk dari arogansi kekuasaan, di mana seragam dan lencana yang seharusnya melambangkan pengabdian dan penegakan hukum, disalahgunakan secara brutal untuk menindas dan memeras rakyat kecil.
Kronologi Penyalahgunaan Wewenang yang Sistematis
Peristiwa bermula saat tim Polhut pimpinan Wahyoni menemukan delapan ekor rusa yang telah mati di tangan kelompok warga yang dipimpin Hendra. Dalam perspektif hukum, temuan ini seharusnya menjadi titik awal proses penegakan hukum berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Prosedur standar menuntut tim Polhut untuk mengamankan barang bukti, membuat berita acara penemuan (BAP), dan menyerahkan terduga pelaku beserta barang bukti kepada penyidik untuk diproses secara hukum.
Namun, Wahyoni diduga memilih jalan pintas yang melanggar hukum dan moral. Alih-alih menjalankan amanat undang-undang, ia justru menjadikan temuan tersebut sebagai komoditas untuk pemerasan.
“Nda usah dibicarakan lagi soal daging rusa 8 ekor ini. Masalah sudah selesai. Tinggal kalian iyakan saja perkataan dari kami polhut dan yang penting kalian kasih uang 25 juta ke kami, selesai urusan,” demikian ucapan Wahyoni yang ditirukan Hendra.
Pernyataan ini bukan sekadar permintaan, melainkan sebuah ancaman transaksional yang terang-terangan mengubah penegakan hukum menjadi ajang negosiasi kriminal. Sikap Wahyoni menunjukkan mentalitas korup yang memandang jabatannya sebagai alat untuk mencari keuntungan pribadi, bukan sebagai tanggung jawab publik.
Analisis Hukum: Kejahatan Berlapis Seorang Aparat
Tindakan yang diduga dilakukan oleh Wahyoni dan timnya bukanlah pelanggaran disiplin biasa, melainkan serangkaian tindak pidana serius:
Pemerasan dalam Jabatan (Pasal 12 huruf e UU Tipikor): Sebagai penyelenggara negara, dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum, Wahyoni diduga telah memaksa seseorang (Hendra dan kawan-kawan) untuk memberikan sesuatu. Ancaman pidananya tidak main-main, yakni penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun.
Penyalahgunaan Wewenang (Pasal 421 KUHP): Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk memaksa orang lain melakukan atau tidak melakukan sesuatu dapat dipidana. Wahyoni diduga kuat menggunakan posisinya sebagai Polhut untuk menekan warga.
Ancaman dan Intimidasi (Pasal 368 KUHP): Pelepasan tembakan ke udara di tengah negosiasi alot pada malam hari adalah bentuk teror psikologis yang nyata. Ini bukan lagi sekadar gertakan, melainkan unjuk kekuatan yang bertujuan melumpuhkan mental korban agar menuruti permintaan uang. Penggunaan senjata api di luar prosedur adalah pelanggaran berat yang harus diusut tuntas.
Dugaan Pencurian (Pasal 362 KUHP): Hilangnya madu milik kelompok Hendra di tengah kekacauan tersebut menimbulkan dugaan kuat adanya tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh oknum-oknum tersebut.
Perhitungan denda ilegal yang dirinci oleh Wahyoni “Satu ekor (rusa) 3 juta. Jadi 8 ekor, total 24 juta. Tapi kita bulatkan jadi 25 juta”—adalah bukti paling telanjang dari niat jahatnya. Ia bertindak seolah-olah pengadilan, jaksa, dan hakim sekaligus, yang bisa memutus “denda damai” di tempat. Ini adalah penghinaan besar terhadap sistem peradilan di Indonesia.
Kritik Tajam: Wajah Ganda Sang Penjaga Hutan
Wahyoni telah menunjukkan wajah ganda yang mengerikan. Di satu sisi, ia adalah aparat negara yang digaji oleh uang rakyat untuk melindungi kekayaan hayati bangsa. Di sisi lain, ia diduga menjelma menjadi predator yang memangsa justru rakyat yang seharusnya ia lindungi. Sikap “kurang ajar” yang dipertontonkan bukan hanya mencerminkan kerusakan moral individu, tetapi juga berpotensi merusak citra seluruh institusi Polhut dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Kehadiran seorang anggota Polri yang justru menenangkan situasi dengan kalimat, “Mereka datang hanya mencari uang rokok saja itu,” meski terkesan meredakan, secara tidak langsung mengonfirmasi adanya praktik lancung yang seolah-olah sudah menjadi rahasia umum. Ini adalah sinyal bahaya bahwa praktik semacam ini mungkin sudah mengakar dan dianggap biasa.
Hingga kini, publik menantikan tindakan tegas dari pimpinan KLHK, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Nusa Tenggara Barat, dan aparat penegak hukum terkait. Kasus Wahyoni harus menjadi momentum untuk membersihkan institusi dari oknum-oknum predator berseragam. Jika dibiarkan tanpa sanksi pidana yang berat, maka jangan salahkan rakyat jika mereka kehilangan kepercayaan sepenuhnya kepada para penjaga hutan.
Keadilan harus ditegakkan, tidak hanya untuk memberikan efek jera kepada Wahyoni, tetapi juga untuk mengembalikan kehormatan seragam Polhut yang telah ia nodai.






































