Tantangan DPRD Kota Bima Dijawab Tuntas: LBH-PRI Resmi Layangkan Somasi Terkait Dugaan Penyalahgunaan Dana Pokir

BIMA, 9 Oktober 2025 || Kawah NTB – Sebuah manuver hukum yang cerdas dan terukur telah mengubah peta polemik dana Pokok-Pokok Pikiran (Pokir) di Kota Bima. Tantangan terbuka yang dilontarkan anggota DPRD Kota Bima agar tudingan dugaan penyelewengan dana aspirasi dibuktikan di ranah hukum, kini terjawab lunas. Bukan dengan debat kusir di media, melainkan melalui Surat Somasi resmi yang dilayangkan Lembaga Bantuan Hukum Peduli Rakyat Indonesia (LBH-PRI) pada Rabu (8/10/2025).

Langkah ini secara efektif memindahkan episentrum persoalan dari sekadar isu publik menjadi sebuah ujian formal bagi integritas dan kenegarawanan 25 anggota dewan. LBH-PRI, alih-alih terpancing dalam polemik, memilih jalur yuridis untuk membedah sebuah anomali yang fundamental, saat sang pengawas diduga kuat menjelma menjadi sang pelaksana.

Bung Igen, selaku Pembina LBH-PRI, menegaskan bahwa somasi ini adalah konsekuensi logis dari sebuah sistem yang diindikasikan telah kehilangan ruhnya. Menurutnya, persoalan ini jauh lebih dalam dari sekadar dugaan anggota dewan mengerjakan proyek rabat gang atau pagar kuburan.

“Ini adalah tentang rusaknya fungsi kontrol, tentang potensi konflik kepentingan yang dilembagakan secara terselubung,” ujar Bung Igen. “Bagaimana mungkin wakil rakyat, yang memegang palu anggaran dan mandat pengawasan, pada saat yang sama menjadi pihak yang mengendalikan pengerjaan proyek yang mereka usulkan? Disinilah letak jantung persoalannya. Fungsi legislasi dan eksekusi seolah menyatu dalam satu genggaman, dan itu adalah sebuah anomali demokrasi yang berbahaya.”

Dalam narasinya, LBH-PRI mengurai sebuah modus operandi yang disinyalir berjalan sistematis. Dana aspirasi miliaran rupiah per anggota dewan diduga dipecah menjadi paket-paket kecil untuk secara legal menghindari mekanisme lelang terbuka yang transparan. Proyek-proyek tersebut kemudian dieksekusi melalui mekanisme Penunjukan Langsung (PL), di mana kendali sesungguhnya dipegang oleh oknum dewan dengan hanya meminjam “jubah administrasi” dari perusahaan konstruksi lokal.

Somasi yang dilayangkan LBH-PRI bukanlah sekadar gertakan. Di dalamnya tertuang sebuah tuntutan yang menempatkan DPRD Kota Bima di persimpangan jalan, memilih jalan transparansi atau berhadapan dengan konsekuensi hukum yang lebih serius. Lembaga dewan dituntut untuk memberikan klarifikasi resmi, melakukan investigasi internal melalui Badan Kehormatan, dan yang terpenting, membuka seluruh data pengelolaan dana pokir kepada publik.

“Kami memberikan waktu 2×24 jam sebagai sebuah itikad baik. Sebuah kesempatan bagi lembaga terhormat DPRD Kota Bima untuk melakukan pembenahan dari dalam,” lanjut Bung Igen. “Namun, jika jalan ini diabaikan, maka kami tidak punya pilihan selain menunaikan tantangan yang mereka lontarkan sendiri, membawa permasalahan ini ke hadapan Aparat Penegak Hukum, dari Kejaksaan hingga KPK.”

Kini, bola panas tidak lagi berada di tangan para penuding, melainkan di pangkuan DPRD Kota Bima. Somasi ini telah menjadi cermin bagi para wakil rakyat, apakah mereka akan berkaca dan membersihkan diri, atau membiarkan citra lembaga semakin tergerus oleh dugaan praktik yang mencederai amanah publik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *